PENGANTAR ILMU TAFSIR
I.
PENDAHULUAN
Empat belas abad yang
lalu, Allah telah mengutus seorang Nabi dan bersamaan dinobatkan sebagai Rasul
Allah yang bernama Muhammad. Diturunkannya oleh Allah kepada manusia yang
disampaikan Muhammad merupakan mukzijat terbesar bagi Nabi dan Umat Islam sebab
dengan hadirnya wahyu Tuhan Bangsa Arab pada masa itu mengalami kemajuan
peradapan dan moral, sebab setiap wahyu Tuhan yang turun disampaikan dengan baik
oleh Rasulullah, maka pada sekarang dipergunakanlah hadits dan sunah Nabi
sebagai tafsir al-Qur'an.
Akan tetapi, sejarah
juga mencatat setelah habis masa Nabi dan para sahabat Islam mengalami
kemunduran dengan ditandainya kekalahan umat Islam pada perang salib di Irak
(Baghdad) semua ilmu pengetahuan diambil alih oleh Bangsa Eropa dan ilmu-ilmu
Islam dibumi hanguskan, maka pada masa ini pintu ijtihad tertutup rapat dan
muncullah kelompok sufisme yang jumud, fanatik mazhab. Potensi-potensi inilah
melahirkan konflik internal Umat Islam setelah pintu ijtihad terbuka lebar
seiring dengan berkembangnya Ilmu Tafsir.
Setelah Umat Islam mengalami kejenuhan kemunduran maka muncullah gerakan untuk
membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya oleh Gerakan Wahabi, M. Ali pasya,
Jamaludin Al-Afghan dan lain-lain dahulu. Gerakan ini ternyata sangat
berpengaruh bagi perkembangan Islam di Indonesia sehingga sudah tidak disangkal
lagi ketika kita berbicara ijtihad maka semua orang akan menyatakan ya, kita
perlu ijtihad. Akan tetapi, mengapa dalam tubuh Umat Islam sering terjadi
konflik mazhab dan pendapat yang pada gilirannya berakhir anarkis. Siapa yang
bersalah?, Apakah ajaranya, ulamanya atau tatacara berijtihad dalam menafsirkan
ayat-ayat wahyu yang belum sempurna.
Haidar Nashir menyatakan
terjadinya perseteruan internal kaum Muslimin disebabkan doktrin tafsir yang
terlalu monoton sehingga sulit menerima toleransi terhadap keberagamaan Muslim
lainnya yang berbeda mazhab, beliau menyatakan: Ketika kaum Salafi berbeda dan
berebut tafsir, jangan salah bahwa mereka tidak terlalu sulit untuk saling
berbenturan paham dengan keras. Baik karena salafiyah maupun tidak, manakala
Islam dikonstruksi serba harfiah dan doktriner dengan klaim kebenaran dan
tafsir mutlak, maka yang muncul adalah perselisihan keras dan tajam.
Absolutisasi pandangan
tentang Islam memang selalu menjadi titik rawan lahirnya perseteruan. Islam Salafiyah
maupun penganut Islam "murni" lainnya, sepanjang selalu menganggap
dirinya paling Islami sambil menganggap pihak lain tidak Islami, maka pada saat
itulah ruang untuk kenisbian paham dan toleransi menjadi menyempit. Selalu ada
rujukan teologis untuk bertengkar keras memperebutkan tafsir Islam, melahirkan
perbedaan paham dan pandangan. Manakala perbedaan tafsir itu bersenyawa dengan
urusan politik, maka wilayah perselisihan menjadi kian keras. Politik dan agama
bahkan menjadi sarat ambisi untuk memenangkan wilayah kekuasaan, baik kekuasaan
diniyah maupun dakwah sekaligus dunyawiyah.
Dalam konteks gerakan Salafiyah,
fenomena konflik keagamaan tersebut juga menampilkan genre baru kaum Salafi
yang radar teologis dan ideologisnya begitu sensitif untuk saling menegaskan
dan bertikai paham dengan keras. Ketika kaum Salafi maupun sesama kelompok
Islam lain saling berebut tafsir keagamaan dengan harga mati, maka seringkali
wilayah perseteruan berbuntut rumit. Paham agama yang serba doktrinal dan
absolut, ditambah ambisi-ambisi kekuasaan duniawi dan fanatisme hizbiyah yang
tinggi, kemudian bersenyawa dengan situasi krisis dan marjinal yang serba
menekan, akan melahirkan konflik paham dan kepentingan agama yang keras.
Sementara ruang dialog yang disediakan pun bukan wahana cair untuk berwacana,
melainkan masuk ke wilayah pertempuran saling memenangkan tafsir, sambil
melibatkan massa masing-masing.
Oleh sebab itulah, perlu
adanya kedewasaan dalam menguasai tafsir dan segala bentuk ilmu pendukung
lainnya, sebab jika seorang munfasir tidak menguasai ilmu tafsir maka akan
berakibat fatal, walaupun dengan dalih ijtihad. Fakta menunjukkan, bagaimana
seorang Amrozi, Azhari, Nurdin M. Top dan kelompok-kelompoknya menghacurkan
tempat tertentu yang bernuansa maksiat serta komunitas Yahudi dan Nasrani
dengan dalih jihad suci (syari'at Islam sebagi rujukan mereka), akan tetapi
dibalik ulah perbuatan mereka terkesan dimata dunia Islam identik dengan
“perang” dan “kekerasan” sedangkan wajah Islam yang disampaikan Rasulullah
adalah rahmatan lil'alamin.
Tampilnya, kelompok yang
beraliran radikal dan fanatik mazhab tradisional Islam dengan sangat mudah dan
sederhana mengklaim kafir, subhat, murtad dan munafik kepada komunitas muslim
lainnya jika tidak mengikuti pendapatnya. Hal ini tampak tatkala terjadinya
benturan antara budaya lokal dengan penafsiran ayat al-Qur'an dan Hadits yang
mereka terima apa adanya. Contoh kasus dalam masalah khilafiyah, Khilafah
Imamah, mazhab dan lain sebaginya.
Betapa besar perjungan
Rakyat Aceh melaksankan syari'at Islam dinegeri sendiri. Ini memang bagus,
tetapi wal hasil pada kenyataan dipraktekan secara over akting, akibatnya pada
daerah-daerah tertentu di bumi nusantara ini yang penduduk muslimnya minoritas
tidak boleh melaksanakan syari'at Islam secara terbuka dan bebas seperti Papua,
Maluku dan daerah lainnya.
Salah satu solusi yang ditawarkan dalam permasalahn diatas
adalah perlunya kemampuan intelektuan dan kedewasaan dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW sebagimana yang telah disepakati secara
ijma'i oleh para ulama' seperti penguasaan bahasa Arab, mengerti metodelogi
serta sistematika tafsir (tahlili, maudhu'i, ijma'i dan muqaran dan lain-lain),
dan yang lebih penting dari itu semua adalah munfasir wajib menguasai asbabul
nuzul dan asbabul wurud mikro dan makro serta bertaqwa pada Allah SWT.
Bagaimanapun juga kepribadian seorang munfasir sangat berperan penting dalam
menghasilkan karya tafsirnya, untuk dipergunakan bagi umat Islam, jika tafsir
tersebut banyak dipengaruhi oleh emosinya tentu hasil tafsirnya juga bernuansa
dokrin emosianl, maka hal inilah yang harus dihilangkan. Jika ini sudah
terlaksana maka kedewasaan dan keterbukaan dalam kemajemukan ber-Islam serta
toleransi juga harmonisasi umat beragama dapat terwujud.
- PENGERTIAN ULUMUL QURAN
Kata u`lum jamak dari
kata i`lmu. i`lmu berarti al-fahmu wal idraak (faham dan
menguasai). Kemudian arti kata ini berubah menjadi permasalahan yang beraneka
ragam yang disusun secara ilmiah.
Jadi, yang dimaksud dengan u`luumul
qu`ran ialah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan
Al-Quran dari segi asbaabu nuzuul, pengumpulan dan penertiban Qur`an,
pengetahuan tentang surah-surah Mekah dan Madinah, An-Nasikh wal mansukh,
Al-Muhkam wal Mutasyaabih dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Qur`an.
Terkadang ilmu ini dinamakan
juga ushuulu tafsir (dasar-dasar tafsir) karena yang dibahas berkaitan
dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seorang Mufassir sebagai
sandaran dalam menafsirkan Qur`an.
- OBJEK PEMBAHASAN ULUMUL QURAN
Objek
Pembahasan Ulumul Qur'an dibagi menjadi tiga bagian besar :
- Sejarah & Perkembangan Ulumul Qur'an ,
Meliputi
: sejarah rintisan ulumul quran di masa Rasulullah SAW, Sahabat, Tabi'in, dan
perkembangan selanjutnya lengkap dengan nama-nama ulama dan karangannya di
bidang ulumul quran di setiap zaman dan tempat.
- Pengetahuan tentang Al-Quran .
Meliputi
: Makna Quran, Karakteristik Al-Quran, Nama-nama al-Quran, Wahyu, Turunnya
Al-Quran, Ayat Mekkah dan Madinah, Asbabun Nuzul, dst.
- Metodologi Penafsiran Al-Quran
Meliputi
: Pengertian Tafsir & Takwil, Syarat-syarat Mufassir dan Adab-adabnya,
Sejarah & Perkembangan ilmu tafsir, Kaidah-kaidah dalam penafsiran
Al-Quran, Muhkam & Mutasyabih, Aam & Khoos, Nasikh wa Mansukh, dst.
DAFTAR
PUSTAKA:
v Mabahits
fi ‘Ulumil-Quran, Syeikh Manna’ul-Qatthan.
v Ulumul
Quran,
Drs. Ahmad Syadali, MA dan Drs. Ahmad Rofi’i.
v Mabahits
fi ‘Ulumil Qur’an, Dr. Subhi Shalih
v Zubdah
al Itqaan,
Sayyid Muhammad Al Maliki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar