Laman

Cari Blog Ini

Kamis, 07 November 2013

Pengantar Ilmu Tafsir



PENGANTAR ILMU TAFSIR
 I.          PENDAHULUAN
Empat belas abad yang lalu, Allah telah mengutus seorang Nabi dan bersamaan dinobatkan sebagai Rasul Allah yang bernama Muhammad. Diturunkannya oleh Allah kepada manusia yang disampaikan Muhammad merupakan mukzijat terbesar bagi Nabi dan Umat Islam sebab dengan hadirnya wahyu Tuhan Bangsa Arab pada masa itu mengalami kemajuan peradapan dan moral, sebab setiap wahyu Tuhan yang turun disampaikan dengan baik oleh Rasulullah, maka pada sekarang dipergunakanlah hadits dan sunah Nabi sebagai tafsir al-Qur'an.
Akan tetapi, sejarah juga mencatat setelah habis masa Nabi dan para sahabat Islam mengalami kemunduran dengan ditandainya kekalahan umat Islam pada perang salib di Irak (Baghdad) semua ilmu pengetahuan diambil alih oleh Bangsa Eropa dan ilmu-ilmu Islam dibumi hanguskan, maka pada masa ini pintu ijtihad tertutup rapat dan muncullah kelompok sufisme yang jumud, fanatik mazhab. Potensi-potensi inilah melahirkan konflik internal Umat Islam setelah pintu ijtihad terbuka lebar seiring dengan berkembangnya Ilmu Tafsir.
Setelah Umat Islam mengalami kejenuhan kemunduran maka muncullah gerakan untuk membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya oleh Gerakan Wahabi, M. Ali pasya, Jamaludin Al-Afghan dan lain-lain dahulu. Gerakan ini ternyata sangat berpengaruh bagi perkembangan Islam di Indonesia sehingga sudah tidak disangkal lagi ketika kita berbicara ijtihad maka semua orang akan menyatakan ya, kita perlu ijtihad. Akan tetapi, mengapa dalam tubuh Umat Islam sering terjadi konflik mazhab dan pendapat yang pada gilirannya berakhir anarkis. Siapa yang bersalah?, Apakah ajaranya, ulamanya atau tatacara berijtihad dalam menafsirkan ayat-ayat wahyu yang belum sempurna.
Haidar Nashir menyatakan terjadinya perseteruan internal kaum Muslimin disebabkan doktrin tafsir yang terlalu monoton sehingga sulit menerima toleransi terhadap keberagamaan Muslim lainnya yang berbeda mazhab, beliau menyatakan: Ketika kaum Salafi berbeda dan berebut tafsir, jangan salah bahwa mereka tidak terlalu sulit untuk saling berbenturan paham dengan keras. Baik karena salafiyah maupun tidak, manakala Islam dikonstruksi serba harfiah dan doktriner dengan klaim kebenaran dan tafsir mutlak, maka yang muncul adalah perselisihan keras dan tajam.
Absolutisasi pandangan tentang Islam memang selalu menjadi titik rawan lahirnya perseteruan. Islam Salafiyah maupun penganut Islam "murni" lainnya, sepanjang selalu menganggap dirinya paling Islami sambil menganggap pihak lain tidak Islami, maka pada saat itulah ruang untuk kenisbian paham dan toleransi menjadi menyempit. Selalu ada rujukan teologis untuk bertengkar keras memperebutkan tafsir Islam, melahirkan perbedaan paham dan pandangan. Manakala perbedaan tafsir itu bersenyawa dengan urusan politik, maka wilayah perselisihan menjadi kian keras. Politik dan agama bahkan menjadi sarat ambisi untuk memenangkan wilayah kekuasaan, baik kekuasaan diniyah maupun dakwah sekaligus dunyawiyah.
Dalam konteks gerakan Salafiyah, fenomena konflik keagamaan tersebut juga menampilkan genre baru kaum Salafi yang radar teologis dan ideologisnya begitu sensitif untuk saling menegaskan dan bertikai paham dengan keras. Ketika kaum Salafi maupun sesama kelompok Islam lain saling berebut tafsir keagamaan dengan harga mati, maka seringkali wilayah perseteruan berbuntut rumit. Paham agama yang serba doktrinal dan absolut, ditambah ambisi-ambisi kekuasaan duniawi dan fanatisme hizbiyah yang tinggi, kemudian bersenyawa dengan situasi krisis dan marjinal yang serba menekan, akan melahirkan konflik paham dan kepentingan agama yang keras. Sementara ruang dialog yang disediakan pun bukan wahana cair untuk berwacana, melainkan masuk ke wilayah pertempuran saling memenangkan tafsir, sambil melibatkan massa masing-masing.
Oleh sebab itulah, perlu adanya kedewasaan dalam menguasai tafsir dan segala bentuk ilmu pendukung lainnya, sebab jika seorang munfasir tidak menguasai ilmu tafsir maka akan berakibat fatal, walaupun dengan dalih ijtihad. Fakta menunjukkan, bagaimana seorang Amrozi, Azhari, Nurdin M. Top dan kelompok-kelompoknya menghacurkan tempat tertentu yang bernuansa maksiat serta komunitas Yahudi dan Nasrani dengan dalih jihad suci (syari'at Islam sebagi rujukan mereka), akan tetapi dibalik ulah perbuatan mereka terkesan dimata dunia Islam identik dengan “perang” dan “kekerasan” sedangkan wajah Islam yang disampaikan Rasulullah adalah rahmatan lil'alamin.
Tampilnya, kelompok yang beraliran radikal dan fanatik mazhab tradisional Islam dengan sangat mudah dan sederhana mengklaim kafir, subhat, murtad dan munafik kepada komunitas muslim lainnya jika tidak mengikuti pendapatnya. Hal ini tampak tatkala terjadinya benturan antara budaya lokal dengan penafsiran ayat al-Qur'an dan Hadits yang mereka terima apa adanya. Contoh kasus dalam masalah khilafiyah, Khilafah Imamah, mazhab dan lain sebaginya.
Betapa besar perjungan Rakyat Aceh melaksankan syari'at Islam dinegeri sendiri. Ini memang bagus, tetapi wal hasil pada kenyataan dipraktekan secara over akting, akibatnya pada daerah-daerah tertentu di bumi nusantara ini yang penduduk muslimnya minoritas tidak boleh melaksanakan syari'at Islam secara terbuka dan bebas seperti Papua, Maluku dan daerah lainnya.
Salah satu solusi yang ditawarkan dalam permasalahn diatas adalah perlunya kemampuan intelektuan dan kedewasaan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW sebagimana yang telah disepakati secara ijma'i oleh para ulama' seperti penguasaan bahasa Arab, mengerti metodelogi serta sistematika tafsir (tahlili, maudhu'i, ijma'i dan muqaran dan lain-lain), dan yang lebih penting dari itu semua adalah munfasir wajib menguasai asbabul nuzul dan asbabul wurud mikro dan makro serta bertaqwa pada Allah SWT. Bagaimanapun juga kepribadian seorang munfasir sangat berperan penting dalam menghasilkan karya tafsirnya, untuk dipergunakan bagi umat Islam, jika tafsir tersebut banyak dipengaruhi oleh emosinya tentu hasil tafsirnya juga bernuansa dokrin emosianl, maka hal inilah yang harus dihilangkan. Jika ini sudah terlaksana maka kedewasaan dan keterbukaan dalam kemajemukan ber-Islam serta toleransi juga harmonisasi umat beragama dapat terwujud.
  1. PENGERTIAN ULUMUL QURAN
Kata u`lum jamak dari kata i`lmu. i`lmu berarti al-fahmu wal idraak (faham dan menguasai). Kemudian arti kata ini berubah menjadi permasalahan yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah.
Jadi, yang dimaksud dengan u`luumul qu`ran ialah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Al-Quran dari segi asbaabu nuzuul, pengumpulan dan penertiban Qur`an, pengetahuan tentang surah-surah Mekah dan Madinah, An-Nasikh wal mansukh, Al-Muhkam wal Mutasyaabih dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Qur`an.
Terkadang ilmu ini dinamakan juga ushuulu tafsir (dasar-dasar tafsir) karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seorang Mufassir sebagai sandaran dalam menafsirkan Qur`an.
  1. OBJEK PEMBAHASAN ULUMUL QURAN
Objek Pembahasan Ulumul Qur'an dibagi menjadi tiga bagian besar :
  1. Sejarah & Perkembangan Ulumul Qur'an ,
Meliputi : sejarah rintisan ulumul quran di masa Rasulullah SAW, Sahabat, Tabi'in, dan perkembangan selanjutnya lengkap dengan nama-nama ulama dan karangannya di bidang ulumul quran di setiap zaman dan tempat.
  1. Pengetahuan tentang Al-Quran .
Meliputi : Makna Quran, Karakteristik Al-Quran, Nama-nama al-Quran, Wahyu, Turunnya Al-Quran, Ayat Mekkah dan Madinah, Asbabun Nuzul, dst.
  1. Metodologi Penafsiran Al-Quran
Meliputi : Pengertian Tafsir & Takwil, Syarat-syarat Mufassir dan Adab-adabnya, Sejarah & Perkembangan ilmu tafsir, Kaidah-kaidah dalam penafsiran Al-Quran, Muhkam & Mutasyabih, Aam & Khoos, Nasikh wa Mansukh, dst.



DAFTAR PUSTAKA:
v  Mabahits fi ‘Ulumil-Quran, Syeikh Manna’ul-Qatthan.
v  Ulumul Quran, Drs. Ahmad Syadali, MA dan Drs. Ahmad Rofi’i.
v  Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, Dr. Subhi Shalih
v  Zubdah al Itqaan, Sayyid Muhammad Al Maliki


Tidak ada komentar:

Posting Komentar