Hadir Pol, Gaji Nol vs Hadir Nol, Gaji Pool
Tanggal 29
November 2014, Metro TV sebagai salah satu stasiun TV swasta di Indonesia
seperti biasa menayangkan program unggulannya yaitu Kick Andy. Kick Andy adalah sebuah acara talkshow yang
dipandu oleh Andy F. Noya. Cara pembicaraan di acara ini mirip dengan acara Oprah
oleh Oprah Winfrey. Kick Andy mulai tayang pada tanggal 1 Maret
2006 hingga sekarang. Acara ini menghadirkan kisah kehidupan nyata yang
informatif, edukatif dan inspiratif. Tamu yang dihadirkan tidak dibatasi oleh
profesi sehingga banyak cerita seru seputar kehidupan masyarakat seluruh
Indonesia. Dalam pembawaannya, pembawa acara Kick Andy mempunyai karakter dan
gaya bahasa yang unik. Dalam setiap nilai pertanyaan yang bersifat langsung
namun tidak sarkastik malah mengundang tawa, dan para narasumber merasa nyaman
ketika menjawab pertanyaan. Kick Andy selalu membagi-bagikan buku gratis
karangan orang ternama dan best seller.
Acara talkshow ini mengangkat tema tentang guru guna
memperingati hari guru tanggal 25 November. Temanya sangat menarik dan
menggelitik yaitu “Hadir Poll, Gaji Nol”. Dalam acara ini, penonton yang
hadir di studio tidak hanya dari para guru, namun juga banyak diantara mereka
dari kalangan akademisi, pemerhati pendidikan, peneliti, dan juga siswa. Pembawa
acara menghadirkan 3 narasumber pada malam itu, yaitu para guru yang mengajar
di daerah-daerah terpencil, dengan status honorer, dan dengan gaji yang
pas-pasan (kurang dari kata cukup). Mereka adalah Firman, seorang guru SD di
daerah terpencil di kaki gunung Tambora Kab. Bima, yang kedua bernama Asnat
Bell, seorang tamatan SMA yang menjadi guru SD di pedalaman NTT, dan yang
ketiga bernama Ai Dewi, seorang pengajar di SD pedalaman suku Badui Rangkas
Bitung.
1.
Hadir
Pol, Gaji Nol
Asnat Bell mengajar selama 7 jam setiap
harinya, mengajar 9 mata pelajaran di kelas 1. Sejak mengajar dari Tahun 2002
hingga sekarang, gaji yang terima pun hanya 50 ribu perbulan, gajinya turun
kadang 3 - 4 bulan. Dengan 50 ribu gajinya sebagai guru honor di SD terpencil
ini, Asnat bell juga harus menghidupi 3 orang anaknya dan keluarganya. Ditambah
lagi dengan keadaan geografis tanah di Amanuban Timur ini yang kering, dingin,
dan susah air, membuat pertanian tidak bisa tumbuh. Asnat Bell hanya lulusan SMA,
bersama teman-temannya mengajar di SD mulai tahun 2002, kini hanya dia saja
yang bertahan, temannya berhenti. Karena hati dan panggilannya mengajar, untuk
mengentaskan kebodohan dan kemiskinan membuat dia tetap mengajar di Sekolah
ini.
Selama
bertahun-tahun mengabdi dan mengajar, Asnat Bell jauh dari pengangkatan menjadi
seorang Guru PNS, kenapa? Karena kebijakan sekolah, seorang guru yang akan jadi
PNS harus melanjutkan ke jenjang pendidikan keguruan, minimal D3, Asnat Bell
hanya SMA. Pengorbanannya mengajar selama 10 tahun tidak berarti apa-apa,
ternyata syarat menjadi PNS itu ijazah pendidikan keguruan.
Cerita
dari Asnat Bell tersebut menggugah kita para guru sebagai agen pendidikan yang
berada di garda depan dalam upaya memajukan generasi bangsa untuk tetap
istiqomah mengemban amanah dan senantiasa bersyukur atas apa yang kita dapatkan
sekarang. Masih banyak teman-teman guru di luar sana yang masih mendapatkan
gaji di bawah standar layak dengan kebutuhan sehari-hari. Selain itu, guru
dimanapun berada harus tetap mendedikasikan kerjanya demi mencerdaskan kehidupan
bangsa. Seperti yang diungkapkan oleh Asnat: “Awal mengajar itu, gaji saya
hanya tujuh ribu rupiah per bulan. Biar gajinya sedikit tapi saya rela
berkorban demi masa depan Negara. Anak-anak biar cerdas”.
Ucapan
Asnat, “Biar gajinya sedikit tapi saya rela berkorban demi masa depan Negara”
sudah bisa menjadi pemantik semangat bagi para guru baik yang hadir di
studio ataupun pemirsa yang menonton di rumah untuk bisa lebih bertanggung
jawab menjalankan tugas mulia sebagai guru. Bukan karena mencari keuntungan
materiil ataupun status social, akan tetapi karena untuk membantu memberikan
cahaya harapan bagi anak bangsa untuk bisa hidup lebih baik di masa yang akan
datang. Bagi para siswa dan masyarakat umum, ucapannya “Anak-anak biar
cerdas” bisa memberikan kesadaran bahwa mereka tidak akan menjadi yang
sekarang tanpa bantuan dari para guru mereka.
Di
sisi lain, pemerintah sudah seharusnya merasa tersentil dengan cerita yang ada
di acara talkshow ini yang sudah lebih dari 6000 kali tayang di situs Yotube
serta gambar-gambar seperti diatas yang sudah tersebar di beberapa situs berita
online. Nasib guru, khususnya guru honorer harus benar-benar diperhatikan.
Bagaimanapun juga rasio guru berstatus PNS dengan guru honorer lebih banyak
guru honorer.
Gambar diatas seakan memberikan tambahan kekuatan bagi para guru
bahwa berjuang dalam ranah pendidikan tidak akan menghasilkan kerugian. Namun
di sisi lain cerita dan gambar tersebut seolah membangunkan pemerintah dan para
anggota DPR untuk lebih memperhatikan tidak cuma para guru honorer tapi juga
nasib anak bangsa bahwa mereka dipilih bukan untuk duduk santai di kursi
kekuasaan tanpa memperhatikan rintihan anak bangsa.
2.
Hadir
Nol, Gaji Pool
Kalau kita memperhatikan polah dan
tingkah laku para wakil rakyat di senayan semakin membuat kita kesal. Selama ini banyak sekali berita yang menyakitkan bangsa
Indonesia seperti dalam sidang paripurna penutupan masa bakti DPR 2009-2014
tercatat 255 anggauta DPR bolos. Berdasar data KPK 74 anggauta DPR yang
terlibat korupsi pada 2007-2014. Anggauta DPR berjalan-jalan dan berfoya-foya
tanpa membuat laporan perjalanan. Dua berita terakir yang menyakitkan rakyat
Indonesia, Tyahyo Kumolo menyatakan pekerjaan paling enak didunia adalah
anggauta DPR RI, karena bebas bicara dan gajinya gede, dan Ruhut Sitompul malu
jadi anggauta DPR, makan gaji buta. Berbagai
kredit buruk pun dilayangkan kepada anggota DPR berbading terbalik dengan gaji
yang mereka dapatkan setiap bulannya.
Gambar
utama dalam tulisan ini menunjukan betapa lebar jurang perbandingan gaji guru
honorer dengan anggota DPR. Memang benar, jika kita bandingkan gaji guru
honorer dengan gaji seorang anggota DPR tentunya terpaut terlalu jauh. Namun
disini yang menjadi titik persoalan adalah dedikasi pekerjaan dan kredibilitas.
Seorang guru honorer di pedalaman yang bergaji rendah yaitu lima puluh ribu
perbulan (hanya cukup untuk membeli beras 5 kg) tetap memiliki dedikasi yang
tinggi untuk mengajar, tetap memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengemban
amanah demi kemajuan bangsa. Jika dibandingkan dengan seorang gaji anggota DPR
yang setiap bulannya paling tidak mendapat gaji 50-54 juta namun tingkat
kredibilitasnya rendah, gajinya 500 kali lipat gaji guru honorer di pedalaman.
Sungguh miris memang melihat besaran pemisah gaji guru dan anggota
DPR. Dalam bahasa religi diibaratkan, “Dulu ketika mereka mencari dukungan
sering membaca Ayat Kursi, tapi setelah mereka mendapat kursi mereka lupa
dengan ayatnya”. Ketika kampanye, para anggota DPR begitu gencar-gencarnya
mengumbar janji janji manis kepada rakyat, akan tetapi setelah mereka duduk
manis di Senayan justru lupa akan janji dan rakyat yang telah memilihnya. Seharusnya
para anggota DPR merasa malu dengan dirinya sendiri dan masyarakat. Memang
tidak semua anggota DPR seperti itu, tapi tidak sedikit dari mereka yang telah
menyia-nyiakan suara rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Permasalahan guru di Indonesia seakan tiada habisnya. Seperti
sebutannya, “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”, sehingga banyak dari
mereka yang memegang kebijakan nasional kurang memperhatikan nasib guru karena
mereka tidak memiliki tanda jasa. Semoga rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah,
Prof. Dr. Anies Baswedan, yang berencana membuat kebijakan gaji minimum guru
bisa terealisasi sehingga nasib para guru bisa terangkat dan menerima gaji yang
layak. Tidak akan ada lagi Asnat Bell atau Oemar Bakrie, kata Iwan Fals, “Jadi
guru jujur berbakti memang makan hati… Oemar Bakri… banyak ciptakan menteri…
Oemar Bakri… professor, insinyur, doctor pun jadi… tapi mengapa gaji guru Oemar
Bakri seperti dikebiri?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar