Laman

Cari Blog Ini

Jumat, 03 Januari 2014

Fiqh Mawaddah, Fiqh Kasih Sayang



     Fikih Mawaddah, Kajian Epistimologi Bayani 
                 Pemukulan terhadap istri dalam masyarakat patriarkhis selalu dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan lumrah. Bahkan oleh sebagian masyarakat pemukulan terhadap istri hampir selalu diterjemahkan sebagai bentuk pengajaran suami terhadap istri dalam rangka pembinaan rumah tangga. Dan yang lebih parahnya lagi masyarakat sering melegitimasikan kekerasan tersebut dengan dalih agama (baca:Islam). Persoalannya apakah memang agama melegitimasi hal tersebut?
Isu dan pertanyaan diatas memang persoalan yang perlu dijawab, dikarenakan begitu cukup sering ditanyakan dan tidak hanya itu mereka yang berusaha mencari kelemahan Islam sering menjadikan masalah ini sebagai sasaran empuk untuk mendeskriditkan agama Islam. Mereka membuat judul yang heboh: “Islam memperbolehkan memukuli istri!” kemudian dihiasi dengan gambar-gambar mengerikan dimana sang suami memegang cambuk atau kayu balok ditangan untuk mengayunkannya kepada sang istri yang terlihat ketakutan dan menahan sakit.
Di sisi yang lain, perjuangan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’.
Mengingat korban kekerasan yang kebanyakan berjenis kelamin wanita itulah, para propagandis anti-KDRT beranggapan bahwa KDRT adalah masalah gender, yakni disebabkan adanya ketidak-adilan gender. Adanya subordinasi perempuan telah menempatkan mereka sebagai korban kekerasan oleh pria. Dan, ajaran agama (baca: Islam) dituduh melanggengkan budaya ini. Beberapa syariat Islam dicap sebagai upaya mensubordinasikan posisi wanita, sehingga menjadi pemicu bagi kaum pria untuk memperlakukan wanita semena-mena, yang berujung pada tindak kekerasan.
Menurut para propagandis ini, poligami dianggap sebagai bentuk penindasan terhadap wanita karena wanita ditempatkan pada posisi ‘nomor dua’. Menurut mereka jilbab juga merupakan bentuk pengekangan terhadap kebebasan wanita. Perintah istri untuk taat kepada suami pun dianggap  sebagai pendorong suami untuk berbuat sewenang-wenang dan memenjarakan wanita dalam rumah tangga. Kebolehan memukul istri atau anak dalam rangka mendidik mereka, dituduh sebagai penganiayaan. Ajaran sunat bagi anak perempuan juga dianggap bentuk kekerasan fisik terhadap perempuan. Sebaliknya, bagi kaum feminis, seorang perempuan tidak wajib untuk taat kepada suaminya, wanita tidak boleh dikekang untuk keluar rumah, suami harus membebaskan istrinya bekerja, pelacur dibela karena dianggap sebagai korban eksploitasi seksual, dll.
Para propagandis beranggapan, untuk menghapuskan KDRT maka perempuan harus disejajarkan dengan pria. Relasi suami-istri dalam kehidupan rumah tangga haruslah seimbang, di mana istri memiliki kewenangan yang tidak harus bersandar kepada suami. Dari sinilah maka arah perjuangan penghapusan KDRT adalah untuk memperjuangkan hak-hak wanita menuju gender equality.
Fatwa membolehkan pukul wanita dihadapkan pada tantangan eksternal dan internal. Di satu pihak, keganasan media massa menyosialisasikan Islamophobia semakin lempang, brutal dan menjadi-jadi khususnya di Eropa, sebagai tantangan external. Sedangkan di pihak lain muncul kecendrungan sebagian intelektual Muslim yang mengumbar fatwa kurang akurat jika ditinjau dari perspektif Islam. Ijtihad para intektual ini lebih bernuansa politik ketimbang ijtihad fiqih syar'i. Fatwa semacam itu sangat mendiskreditkan citra Islam yang berkarakter harmonis, sejuk, damai dan rahmat buat seluruh manusia, termasuk wanita.
1.   Dasar Legitimasi
Al-quran tidak pernah membenarkan suami melakukan kekerasan terhadap istri atau keluarganya. Karena Al-quran diyakini membawa nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang universal. Persoalannya terletak pada cara memahami pesan Al-quran, dan satu kesalahan fatal yang dilakukan umat dalam memahami teks-teks yang berkaitan dengan perempuan selama ini, adalah menjadikan teks tersebut bersifat final dan normatif dengan melegitimasikan pada Keabadian Kalam Allah. Dasar yang mereka gunakan adalah Surat An-Nisaa: 34:
"Laki-laki adalah qawwam (pemimpin) atas perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka (untuk perempuan), sebab itu perempuan yang shaleh adalah yang taat kepada Allah (qanitat) dan menjaga diri dibalik pembelakangan suaminya (hafizah lil ghaib), sebagaimana Allah menjaganya. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah (wadharibuhunna) mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha Tinggi lagi Maha Besar".
Apa ada yang salah dengan ayat di atas? Tidak. Sederhananya, dari ayat di atas jelas, memukul menjadi alternatif terakhir. Menurut ayat di atas, apabila sang istri nusyuz (durhaka), maka yang pertama harus dilakukan adalah menasehati. Namun jika dinasehati tidak mempan dan masih saja durhaka, maka pisahlah dari tempat tidur mereka (pisah ranjang) agar sang istri merasa bersalah atas tingkah durhakanya. Jika kedua cara yang baik ini masih juga tidak mempan dan sang istrri masih saja durhaka, maka pukullah.
Mengenai “pukullah” ini, pukulan yang dimaksud adalah pukulan ringan yang tidak mengucurkan darah serta tidak dikhawatirkan menimbulkan kebinasaan jiwa atau cacat pada tubuh, patah tulang, dan sebagainya (dharb ghoiru mubbarih). Tujuannya adalah untuk mendidik, memperbaiki, dan meluruskan. Dan bukan pukulan yang keras hingga membuat istri takut dan lari dari suami.
Dan juga seorang suami kepada isterinya ialah tidak memukul wajah isterinya, meski terjadi perselisihan yang sangat dahsyat, misalnya karena si isteri telah berbuat durhaka kepada suaminya. Memukul wajah sang isteri adalah haram hukumnya.
Sabda Rasulullah Saw:
Bertakwalah kalian kepada Allah dalam perkara para wanita (istri), karena kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang kalian benci untuk menginjak (menapak) di hamparan (permadani) kalian. Jika mereka melakukan hal tersebut3 maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras.” (HR. Muslim no. 2941)
Contoh kisah nabi Ayub a.s:
Ketika nabi Ayub ditinggalkan oleh istrinya, beliau bernazar jika kelak ia sembuh, ia akan memukul istrinya 100 kali. Dan beliau melakukannya. Tapi dengan seikat lidi berjumlah seratus buah, dan memukul hanya sekali saja. (QS. Shâd [38]: 44)
Intinya, pukulan hanya ditujukan pada istri yang sangat durhaka sekali, yang tidak mengindahkan nasehat dan tindakan peringatan suami dalam bentuk pisah ranjang. Yang patut jadi perhatian, Islam menetapkan batasan-batasan dan syarat-syarat dalam pelaksanaan pukulan sehingga tidak keluar dari tujuan pembolehannya yaitu untuk memperbaiki, meluruskan, dan mendidik. Bukan untuk membalas dendam, menghinkan dan merendahkan. Pukulannya pun harus pukulan yang tidak keras. Tidak boleh melampaui batas.
2.   Analisis Semantik Untuk Meluruskan persepsi
Upaya yang digalakkan umat Islam di Eropa melawan Islamophobia, akan terganggu dan semakin kabur dengan tersiarnya fatwa pelecehan HAM semacam ini. Dalam dasar legitimasi yang telah disebutkan di atas, ada dua kata kunci yang selalu ditafsirkan secara tekstual yaitu kata Nusyuz dan kata Dharaba. Hampir semua ulama baik konvensional maupun kotemporer mengartikan nusyuz sebagai durhaka istri terhadap suami atau tidak patuh terhadap suami. Sehingga Ayat ini sering disalah tafsirkan sebagai : Pertama: Bahwa seorang istri haruslah taat kepada suaminya; Kedua: Jika dia tidak taat kepada suaminya, maka si suami boleh memukulnya. Penafsiran ini tentunya sangat bias laki-laki, oleh karena itu kita harus pahami dulu 2 kata ini.
a.   Nusyuz
Nusyuz secara bahasa berarti tempat yang tinggi (menonjol). Sedangkan secara istilah nusyuz berarti istri durhaka kepada suami dalam perkara ketaatan pada suami yang Allah wajibkan, dan pembangkangan ini telah menonjol. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Nusyuz adalah meninggalkan perintah suami, menentangnya dan membencinya” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 24).
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud nusyuz adalah wanita keluar dari rumah suaminya tanpa ada alasan yang benar. Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa nusyuz adalah keluarnya wanita dari ketaatan yang wajib kepada suami. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 284). Ringkasnya, nusyuz adalah istri tidak lagi menjalankan kewajiban-kewajibannya. Nusyuz wanita pada suami adalah haram. Karena wanita nusyuz yang tidak lagi mempedulikan nasehat, maka suami boleh memberikan hukuman. Dan tidaklah hukuman ini diberikan melainkan karena melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib.
Nusyuz adalah petaka bagi bahtera rumah tangga, bahtera itu akan karam ditengah laut jika dibiarkan. Dan Islam tidak menginginkan hal tersebut terjadi, karenanya agama Allah SWT ini menyediakan regulasi agar hal tersebut tidak terjadi. Wawu dalam ayat 34 surat an Nisa tersebut diatas mempunyai faedah makna litartib yang berarti bahwa regulasi dalam menghadapi istri yang nusyuz melalui 4 fase secara berurutan.
Pertama, menasehati sang istri. Dalam menasehatinya, hendaklah suami menasehati istri dengan lemah lembut. Suami menasehati istri dengan mengingatkan bagaimana kewajiban Allah padanya yaitu untuk taat pada suami dan tidak menyelisihinya. Ia pun mendorong istri untuk taat pada suami dan memotivasi dengan menyebutkan pahala besar di dalamnya. Wanita yang baik adalah wanita sholehah, yang taat, menjaga diri meski di saat suami tidak ada di sisinya. Kemudian suami juga hendaknya menasehati istri dengan menyebutkan ancaman Allah bagi wanita yang mendurhakai suami.
Jika istri telah menerima nasehat tersebut dan telah berubah, maka tidak boleh suami menempuh langkah selanjutnya. Karena Allah Ta’ala berfirman,
“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” (QS. An Nisa’: 34).
Namun jika nasehat belum mendapatkan hasil, maka langkah berikutnya yang ditempuh, yaitu hajr.
Kedua, Hajr yang artinya memboikot istri dalam rangka menasehatinya untuk tidak berbuat nusyuz. Langkah inilah yang disebutkan dalam lanjutan ayat,
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka” (QS. An Nisa’: 34).
Untuk melakukan hajr, dapat dilakukan dalam beberapa cara:
1)  Tidak berhubungan intim terutama pada saat istri butuh
2)  Tidak mengajak berbicara, namun masih tetap berhubungan intim
3)  Mengeluarkan kata-kata yang menyakiti istri ketika diranjang
4)  Pisah ranjang.
Cara manakah yang kita pilih? Yang terbaik adalah cara yang sesuai dan lebih bermanfaat bagi istri ketika hajr. Namun catatan penting yang perlu diperhatikan, tidak boleh seorang suami memboikot istri melainkan di rumahnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya mengenai kewajiban suami pada istri oleh Mu’awiyah Al Qusyairi,
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih). Karena jika seorang suami melakukan hajr di hadapan orang lain, maka si wanita akan malu dan terhinakan, bisa jadi ia malah bertambah nusyuz.
Namun jika melakukan hajr untuk istri di luar rumah itu terdapat maslahat, maka silakan dilakukan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hajr terhadap istri-istri beliau di luar rumah selama sebulan. Juga perlu diperhatikan bahwa hajr di sini jangan ditampakkan di hadapan anak-anak karena hal itu akan sangat berpengaruh terhadap mereka, bisa jadi mereka akan ikut jelek dan rusak atau menjadi anak yang broken home yang terkenal amburadul dan nakal. Jika tidak lagi bermanfaat cara kedua ini, dalam hal ini sang istri masih saja durhaka, maka ada langkah berikutnya.
Ketiga, memukulnya. Solusi yang ketiga inilah yang menjadi bahan untuk menyerang Islam atau bahkan menjadi justifikasi pertama yang dilakukan oleh muslim sendiri. Padahal, memukul istri menjadi alternatif terakhir apabila sang istri sudah sangat kelewatan durhakanya setelah dinasehati dan dipisah ranjang. “Pukullah” semata-mata merupakan tindakan mendisiplikan bukan untuk menzhalimi istri. Mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikutnya.
b.   Dharb
Pengabsahan pemukulan istri ini seringkali dikukuhkan melalui kegiatan penerjemahan kata kunci Wadhribuuhunna yang berasal dari kata dharaba. Masyarakat umum bahkan para mubaligh seringkali mengutip ayat ini dalam versi terjemahan yang lazim, dharaba selalu diartikan pukullah. Namun, kata dhorb dalam Surat An Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan rujukan dan diterjemahkan secara harfiah dengan memukul, tapi harus diterjemahkan sesuai dengan penjelasan ayat dan hadis secara komprehensif sesuai norma maqasidissyariah (tujuan syariah). Kenapa? Karena dalam persepsi Islam, maksud dari institusi perkawinan dalam bentuk rumah tangga sangatlah mulia. Selain mengikuti Sunah Nabi dan mengembangbiakkan keturunan, juga untuk membina keluarga sakinah, mawaddah, rahmah, mahabbah, dan harmonis. Maka dari itu, menghina, menganiaya atau memukul istri bukan hanya kontraproduktif dengan tujuan perkawinan, tapi juga melanggar prinsip dasar HAM.
Nabi sangat mengecam tindakan suami yang memukul istri dalam hadisnya, "Bagaimana Anda pukul istri Anda seperti memukul budak padahal setelah itu Anda tidur bersama istri, apakah anda tidak malu?" Kedua calon suami dan isteri tidak dipaksa untuk maju ke lembaga perkawinan, sehingga konsekuensinya, mereka tidak bisa saling memaksakan kehendak. Kelangsungan lembaga perkawinan yang suci dan mulia ini memang harus dipelihara. Namun jika tidak memungkinkan dan tidak tercapai solusi yang memuaskan dua pihak, status lembaga perkawinan bukanlah mutlak dan harga mati yang harus dipertahankan sampai pisah mati, seperti yang terdapat dalam agama lain. Islam membolehkan cerai hidup, jika memang terpaksa. Artinya, bila ternyata di antara suami dan istri tidak ada sakinah, mawaddah, dan rahmah, seorang suami boleh cerai dari istri dengan cara baik seperti kata Alquran, "Lanjutkan perkawinan dengan cara baik atau cerai dengan cara gentlemen."
Pendekatan dan meyakinkan istri dengan cara memukul tidak akan melahirkan bahagia. Andaikan sang istri berubah menjadi baik setelah dipukul oleh suami, tentu hanya secara zahir, karena bagaimanapun juga aksi dan tindak pemukulan itu sangat melukai hatinya. Sehingga pilar sakinah dan mawaddah akan cacat yang akhirnya juga kehidupan rumah tangga akan hancur.
Demikian pula sang istri juga tidak perlu memukul suami atau melakukan tindakan kekerasan lain. Istri bisa dan boleh keluar dari lembaga perkawinan dengan mengambil inisiatif untuk cerai dari suami dengan membayar ta'widh. Tidak satu hadispun yang membolehkan memukul istri. Dalam Alquran juga tidak ditemukan ayat yang membolehkan memukul istri. Adapun ayat 34 surat An Nisa yang selalu dijadikan rujukan oleh sebagian orang, perlu di terjemahkan secara akurat sesuai dengan norma dan prinsip tafsir. Menerjemahkan kata dharb dalam ayat tersebut dengan memukul adalah hal yang perlu penjelasan lanjutan. Karena petunjuk Alquran sangat jelas bahwa untuk memukul atau mencambuk selalu dipakai kata jild seperti hukuman bagi orang yang menuduh berzina tanpa adanya empat saksi dicambuk 80 kali.
Dalam terjemahan Alquran dari Depag kita temukan sebagai berikut, "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka (An Nisa ayat 34). Secara umum terjemahan Alquran Depag telah membantu umat Islam memahami kitab sucinya, namun khusus ayat 34 surat An Nisa, Tampaknya Depag harus meninjau ulang terjemahannya. Kenapa? Karena kata kerja dharb mencakup multimakna yang harus disesuaikan dengan ayat dan dalil naqli yang terkait secara utuh. Ada 18 bentuk pemakaian kata dharb dalam Alquran, kata tersebut bisa mempunyai arti mendidik, mencangkul, memelihara, bepergian, mengasingkan/isolasi diri, memisahkan, dan meninggalkan. Kita ambil contoh dalam surat An Nisa ayat 101, "Wa iza dhorobtum fil ardhi falaisa alaikum junahun an taqsuru minas sholati (Dan apabila kamu bepergian (dharabtum) di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar shalatmu). Kata dhorobtum tidak mungkin diterjemahkan memukul di bumi.
Dan bila melihat konteks turunnya ayat ini, hukuman fisik yang dimaksud dari ayat tersebut hanya bersifat kontekstual dan bukan ajaran normatif yang berlaku pada setiap jaman. Nabi Muhammad SAW sendiri setelah turunnya ayat tersebut banyak mengeluarkan sabda yang melarang pemukulan terhadap perempuan. Demikian juga dengan ayat-ayat al-quran, banyak menjelaskan betapa Allah menganjurkan sikap ma’aruf dalam perkawinan, dan kekerasan terhadap istri justru bertentangan dengan konsep mu’asyarah bi al-ma’ruf.
Karena adanya konsep khul'u (perceraian yang inisiatifnya muncul dari sang istri) dalam lembaga perkawinan, maka menerjemahkan dharb dengan memukul semakin kurang relevan dalam ayat 34 Surat An Nisa untuk menyelesaikan cekcok rumah tangga. Masing-masing pihak punya hak untuk tetap lanjut bersama atau pisah dari kehidupan rumah tangga.
3.   Teladan Nabi
Hal ini diperkuat oleh sunnah fi'liyah (praktik Nabi) Rasulullah SAW ketika rumah tangganya mengalami tantangan disharmonisasi dari beberapa istrinya. Nabi tidak melakukan pemukulan pada istrinya, tapi dia meninggalkan istrinya berhijrah rumah selama sebulan ke tempat lain. Padahal Surat An Nisa ayat 34 waktu itu sudah turun.
Dua tahapan sudah dilakukan oleh Nabi yaitu menasihati dan pisah ranjang tapi tetap satu rumah. Tahapan terakhir untuk menjaga kesinambungan dan keutuhan rumah tangga adalah i'tizal atau ib'ad atau hijrah pisah rumah selama sebulan. Ternyata cara ini ampuh. Para istrinya kembali biasa, rumah tangga Nabi kembali utuh.
Seandainya memukul adalah suatu opsi, tentu Rasulullah adalah orang yang pertama harus melakukannya sebagai contoh dalam segala bentuk perintah yang ada dalam Alquran. Namun Nabi tidak pernah melakukannya. Dalam suatu hadis dikatakan bahwa beliau tidak pernah memukul pembantu dan istrinya. Beliau tidak pernah menyuruh untuk memukul istri apalagi melakukan tindakan penghinaan.
4.   Kesimpulan
Ajaran Islam adalah kompatible dengan segala waktu dan tempat. Artinya ajaran Islam relevan dalam setiap kondisi zaman. Pemahaman terhadap ajaran Islam harus dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh. Memahami Al Qur’an jangan sa,pai setengah-setengah dan harus teliti serta jeli melihat teksnya. Sehingga pemahaman yang tidak mengakomodasi maslahah manusia bisa dihindari.
Fikih mawaddah melarang suami menghina atau memukul istri. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindakan kriminalitas. Islam sudah memberikan saran dan solusi dalam menyelesaikan konflik dalam berumah tangga. Apabila ada istri yang durhaka kepada suaminya, Islam menganjurkan bagi sang suami untuk menasehatinya. Apabila dengan jalan menasehati terus-menerus tidak membuahkan hasil dan istri masih tetap nusyuz, maka sang suami hendaknya memboikotnya dari ranjang. Cara memboikot bisa dengan jalan idak berhubungan intim terutama pada saat istri butuh, tidak mengajaknya berbicara, atau pisah ranjang. Dan apabila ternyata cara inipun masih saja tidak memberikan kontribusi untuk menghentikan istri dari berbuat nusyuz, maka boleh melakukan cara yang terakhir yaitu memukul. Namun, memukul disini tidak boleh memukul wajah, tidak sampai mencederai, tidak lebih dari 10 pukulan, dan yakin bahwa dengan memukul istri itu akan bermanfaat untuk membuatnya tidak berbuat nusyuz lagi. Akan sangat bijak sekali apabila cara yang ketiga tidak sampai dilakukan, agar konflik yang terjadi dalam rumah tangga bisa diselesaikan tanpa adanya kekerasan.
Contoh keteladanan Nabi dalam menyelesaikan konflik rumah tangga sangatlah patut untuk diteladani. Apa yang telah Nabi contohkan merupakan fikih mawaddah yang harus disosialisasikan oleh para intelektual Muslim dalam upaya membasmi kesalahpahaman terhadap ajaran sejati Islam dan mengeliminasi Islamophobia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar