Fikih Mawaddah, Kajian
Epistimologi Bayani 
                 Pemukulan terhadap istri dalam
masyarakat patriarkhis selalu dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan lumrah.
Bahkan oleh sebagian masyarakat pemukulan terhadap istri hampir selalu
diterjemahkan sebagai bentuk pengajaran suami terhadap istri dalam rangka
pembinaan rumah tangga. Dan yang lebih parahnya lagi masyarakat sering
melegitimasikan kekerasan tersebut dengan dalih agama (baca:Islam).
Persoalannya apakah memang agama melegitimasi hal tersebut?
Isu dan pertanyaan diatas memang
persoalan yang perlu dijawab, dikarenakan begitu cukup sering ditanyakan dan
tidak hanya itu mereka yang berusaha mencari kelemahan Islam sering menjadikan
masalah ini sebagai sasaran empuk untuk mendeskriditkan agama Islam. Mereka
membuat judul yang heboh: “Islam memperbolehkan memukuli istri!” kemudian
dihiasi dengan gambar-gambar mengerikan dimana sang suami memegang cambuk atau
kayu balok ditangan untuk mengayunkannya kepada sang istri yang terlihat
ketakutan dan menahan sakit.
Mengingat korban kekerasan yang kebanyakan
berjenis kelamin wanita itulah, para propagandis anti-KDRT beranggapan bahwa
KDRT adalah masalah gender, yakni disebabkan adanya ketidak-adilan gender.
Adanya subordinasi perempuan telah menempatkan mereka sebagai korban kekerasan
oleh pria. Dan, ajaran agama (baca: Islam) dituduh melanggengkan budaya ini.
Beberapa syariat Islam dicap sebagai upaya mensubordinasikan posisi wanita,
sehingga menjadi pemicu bagi kaum pria untuk memperlakukan wanita semena-mena,
yang berujung pada tindak kekerasan.
Menurut para propagandis ini, poligami
dianggap sebagai bentuk penindasan terhadap wanita karena wanita ditempatkan
pada posisi ‘nomor dua’. Menurut mereka jilbab juga merupakan bentuk pengekangan
terhadap kebebasan wanita. Perintah istri untuk taat kepada suami pun
dianggap  sebagai pendorong suami untuk berbuat sewenang-wenang dan
memenjarakan wanita dalam rumah tangga. Kebolehan memukul istri atau anak dalam
rangka mendidik mereka, dituduh sebagai penganiayaan. Ajaran sunat bagi anak
perempuan juga dianggap bentuk kekerasan fisik terhadap perempuan. Sebaliknya,
bagi kaum feminis, seorang perempuan tidak wajib untuk taat kepada suaminya,
wanita tidak boleh dikekang untuk keluar rumah, suami harus membebaskan
istrinya bekerja, pelacur dibela karena dianggap sebagai korban eksploitasi
seksual, dll.
Para propagandis beranggapan, untuk menghapuskan KDRT
maka perempuan harus disejajarkan dengan pria. Relasi suami-istri dalam
kehidupan rumah tangga haruslah seimbang, di mana istri memiliki kewenangan
yang tidak harus bersandar kepada suami. Dari sinilah maka arah perjuangan
penghapusan KDRT adalah untuk memperjuangkan hak-hak wanita menuju gender
equality.
Fatwa membolehkan pukul wanita
dihadapkan pada tantangan eksternal dan internal. Di satu pihak, keganasan
media massa menyosialisasikan Islamophobia semakin lempang, brutal dan
menjadi-jadi khususnya di Eropa, sebagai tantangan external. Sedangkan di pihak
lain muncul kecendrungan sebagian intelektual Muslim yang mengumbar fatwa
kurang akurat jika ditinjau dari perspektif Islam. Ijtihad para intektual ini lebih bernuansa politik
ketimbang ijtihad fiqih syar'i. Fatwa semacam itu
sangat mendiskreditkan citra Islam yang berkarakter harmonis, sejuk, damai dan
rahmat buat seluruh manusia, termasuk wanita.
1.  
Dasar Legitimasi
Al-quran tidak pernah membenarkan suami melakukan kekerasan
terhadap istri atau keluarganya. Karena Al-quran diyakini membawa nilai-nilai
keadilan dan kesetaraan yang universal. Persoalannya terletak pada cara
memahami pesan Al-quran, dan satu kesalahan fatal yang dilakukan umat dalam
memahami teks-teks yang berkaitan dengan perempuan selama ini, adalah
menjadikan teks tersebut bersifat final dan normatif dengan melegitimasikan pada
Keabadian Kalam Allah. Dasar yang mereka gunakan adalah Surat
An-Nisaa: 34: 
"Laki-laki adalah qawwam (pemimpin) atas perempuan, karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena
mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka (untuk perempuan), sebab itu
perempuan yang shaleh adalah yang taat kepada Allah (qanitat) dan menjaga diri
dibalik pembelakangan suaminya (hafizah lil ghaib), sebagaimana Allah
menjaganya. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah (wadharibuhunna)
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha Tinggi lagi Maha Besar".
Apa ada yang salah dengan ayat di atas? Tidak. Sederhananya, dari ayat di atas jelas, memukul menjadi alternatif terakhir.
Menurut ayat di atas, apabila sang istri nusyuz (durhaka), maka yang
pertama harus dilakukan adalah menasehati. Namun jika dinasehati tidak mempan
dan masih saja durhaka, maka pisahlah dari tempat tidur mereka (pisah ranjang)
agar sang istri merasa bersalah atas tingkah durhakanya. Jika kedua cara yang
baik ini masih juga tidak mempan dan sang istrri masih saja durhaka, maka
pukullah.
Mengenai “pukullah” ini, pukulan yang
dimaksud adalah pukulan ringan yang tidak mengucurkan darah serta tidak
dikhawatirkan menimbulkan kebinasaan jiwa atau cacat pada tubuh, patah tulang,
dan sebagainya (dharb ghoiru mubbarih). Tujuannya adalah untuk mendidik,
memperbaiki, dan meluruskan. Dan bukan pukulan yang keras hingga membuat istri
takut dan lari dari suami.
Dan juga seorang suami kepada isterinya
ialah tidak memukul wajah isterinya, meski terjadi perselisihan yang sangat
dahsyat, misalnya karena si isteri telah berbuat durhaka kepada suaminya.
Memukul wajah sang isteri adalah haram hukumnya.
Sabda Rasulullah Saw:
“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam
perkara para wanita (istri), karena kalian mengambil mereka dengan amanah dari
Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian
terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang kalian
benci untuk menginjak (menapak) di hamparan (permadani) kalian. Jika mereka
melakukan hal tersebut3 maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras.”
(HR. Muslim no. 2941)
Contoh kisah nabi Ayub a.s:
Ketika nabi Ayub ditinggalkan oleh
istrinya, beliau bernazar jika kelak ia sembuh, ia akan memukul istrinya 100
kali. Dan beliau melakukannya. Tapi dengan seikat lidi berjumlah seratus buah,
dan memukul hanya sekali saja. (QS. Shâd [38]: 44)
Intinya, pukulan hanya ditujukan pada
istri yang sangat durhaka sekali, yang tidak mengindahkan nasehat dan tindakan
peringatan suami dalam bentuk pisah ranjang. Yang patut jadi perhatian, Islam menetapkan batasan-batasan dan
syarat-syarat dalam pelaksanaan pukulan sehingga tidak keluar dari tujuan
pembolehannya yaitu untuk memperbaiki, meluruskan, dan mendidik. Bukan untuk
membalas dendam, menghinkan dan merendahkan. Pukulannya pun harus pukulan yang
tidak keras. Tidak boleh melampaui batas.
2.  
Analisis Semantik Untuk Meluruskan persepsi
Upaya yang digalakkan umat Islam di Eropa melawan
Islamophobia, akan terganggu dan semakin kabur dengan tersiarnya fatwa
pelecehan HAM semacam ini. Dalam
dasar legitimasi yang telah disebutkan di atas, ada dua kata kunci yang selalu ditafsirkan secara tekstual yaitu
kata Nusyuz dan kata Dharaba. Hampir semua ulama baik
konvensional maupun kotemporer mengartikan nusyuz sebagai durhaka istri
terhadap suami atau tidak patuh terhadap suami. Sehingga Ayat ini sering
disalah tafsirkan sebagai : Pertama: Bahwa seorang istri haruslah taat
kepada suaminya; Kedua: Jika dia tidak taat kepada suaminya, maka si
suami boleh memukulnya. Penafsiran ini tentunya sangat bias laki-laki, oleh karena itu
kita harus pahami dulu 2 kata ini.
a.  
Nusyuz
Nusyuz secara bahasa berarti tempat yang tinggi
(menonjol). Sedangkan secara istilah nusyuz berarti istri durhaka kepada
suami dalam perkara ketaatan pada suami yang Allah wajibkan, dan pembangkangan
ini telah menonjol. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Nusyuz
adalah meninggalkan perintah suami, menentangnya dan membencinya” (Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, 4: 24).
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud nusyuz
adalah wanita keluar dari rumah suaminya tanpa ada alasan yang benar. Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa nusyuz adalah keluarnya wanita dari ketaatan yang
wajib kepada suami. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 284). Ringkasnya, nusyuz
adalah istri tidak lagi menjalankan kewajiban-kewajibannya. Nusyuz wanita pada suami adalah haram. Karena
wanita nusyuz yang tidak lagi mempedulikan nasehat, maka suami boleh
memberikan hukuman. Dan tidaklah hukuman ini diberikan melainkan karena
melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib.
Nusyuz adalah petaka bagi bahtera rumah tangga, bahtera itu akan karam ditengah
laut jika dibiarkan. Dan Islam tidak menginginkan hal tersebut terjadi,
karenanya agama Allah SWT ini menyediakan regulasi agar hal tersebut tidak
terjadi. Wawu dalam ayat 34 surat an Nisa tersebut diatas
mempunyai faedah makna litartib yang berarti bahwa regulasi dalam
menghadapi istri yang nusyuz melalui 4 fase secara berurutan. 
Pertama, menasehati sang istri. Dalam menasehatinya, hendaklah suami menasehati istri dengan lemah lembut. Suami menasehati istri
dengan mengingatkan bagaimana kewajiban Allah padanya yaitu untuk taat pada
suami dan tidak menyelisihinya. Ia pun mendorong istri untuk taat pada suami
dan memotivasi dengan menyebutkan pahala besar di dalamnya. Wanita yang baik
adalah wanita sholehah, yang taat, menjaga diri meski di saat suami tidak ada
di sisinya. Kemudian suami juga hendaknya menasehati istri dengan menyebutkan
ancaman Allah bagi wanita yang mendurhakai suami.
Jika istri telah menerima nasehat tersebut
dan telah berubah, maka tidak boleh suami menempuh langkah selanjutnya. Karena
Allah Ta’ala berfirman,
“Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” (QS. An Nisa’: 34).
Namun jika nasehat belum mendapatkan
hasil, maka langkah berikutnya yang ditempuh, yaitu hajr.
Kedua, Hajr yang artinya memboikot istri dalam
rangka menasehatinya untuk tidak berbuat nusyuz. Langkah inilah yang
disebutkan dalam lanjutan ayat,
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
“Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka”
(QS. An Nisa’: 34).
Untuk melakukan hajr,
dapat dilakukan dalam beberapa cara:
1)  Tidak berhubungan intim terutama
pada saat istri butuh
2)  Tidak mengajak berbicara, namun
masih tetap berhubungan intim
3)  Mengeluarkan kata-kata yang
menyakiti istri ketika diranjang
4)  Pisah ranjang.
Cara manakah yang
kita pilih? Yang terbaik adalah cara yang sesuai dan lebih bermanfaat bagi
istri ketika hajr. Namun catatan penting yang perlu diperhatikan, tidak
boleh seorang suami memboikot istri melainkan di rumahnya. Sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya mengenai kewajiban
suami pada istri oleh Mu’awiyah Al Qusyairi,
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى
الْبَيْتِ
“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya,
dan jangan pula menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr selain di
rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih). Karena jika seorang suami
melakukan hajr di hadapan orang lain, maka si wanita akan malu dan
terhinakan, bisa jadi ia malah bertambah nusyuz.
Namun jika melakukan hajr
untuk istri di luar rumah itu terdapat maslahat, maka silakan dilakukan karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hajr terhadap
istri-istri beliau di luar rumah selama sebulan. Juga perlu diperhatikan bahwa
hajr di sini jangan ditampakkan di hadapan anak-anak karena hal itu akan sangat
berpengaruh terhadap mereka, bisa jadi mereka akan ikut jelek dan rusak atau
menjadi anak yang broken home yang terkenal amburadul dan nakal. Jika tidak
lagi bermanfaat cara kedua ini, dalam hal ini sang istri masih saja durhaka,
maka ada langkah berikutnya.
Ketiga, memukulnya. Solusi yang ketiga inilah yang
menjadi bahan untuk menyerang Islam atau bahkan menjadi justifikasi pertama
yang dilakukan oleh muslim sendiri. Padahal, memukul istri menjadi alternatif
terakhir apabila sang istri sudah sangat kelewatan durhakanya setelah
dinasehati dan dipisah ranjang. “Pukullah” semata-mata
merupakan tindakan mendisiplikan bukan untuk menzhalimi istri. Mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut pada
bagian berikutnya.
b.  
Dharb 
Pengabsahan
pemukulan istri ini seringkali dikukuhkan melalui kegiatan penerjemahan kata
kunci Wadhribuuhunna yang berasal dari kata dharaba.
Masyarakat umum bahkan para mubaligh seringkali mengutip ayat ini dalam versi
terjemahan yang lazim, dharaba selalu diartikan pukullah. Namun, kata dhorb dalam Surat An Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan
rujukan dan diterjemahkan secara harfiah dengan memukul, tapi harus
diterjemahkan sesuai dengan penjelasan ayat dan hadis secara komprehensif
sesuai norma maqasidissyariah (tujuan syariah).
Kenapa? Karena dalam persepsi
Islam, maksud dari institusi perkawinan dalam bentuk rumah tangga sangatlah
mulia. Selain mengikuti Sunah Nabi dan mengembangbiakkan keturunan, juga untuk
membina keluarga sakinah, mawaddah, rahmah, mahabbah,
dan harmonis. Maka dari itu, menghina, menganiaya atau memukul istri bukan
hanya kontraproduktif dengan tujuan perkawinan, tapi juga melanggar prinsip
dasar HAM.
Nabi sangat mengecam tindakan suami yang memukul istri
dalam hadisnya, "Bagaimana Anda pukul istri
Anda seperti memukul budak padahal setelah itu Anda tidur bersama istri, apakah
anda tidak malu?" Kedua calon suami dan isteri tidak dipaksa untuk
maju ke lembaga perkawinan, sehingga konsekuensinya,
mereka tidak bisa saling memaksakan kehendak. Kelangsungan lembaga perkawinan
yang suci dan mulia ini memang harus dipelihara. Namun jika tidak memungkinkan
dan tidak tercapai solusi yang memuaskan dua pihak, status lembaga perkawinan
bukanlah mutlak dan harga mati yang harus dipertahankan sampai pisah mati,
seperti yang terdapat dalam agama lain. Islam membolehkan cerai hidup, jika
memang terpaksa. Artinya, bila ternyata di antara suami dan istri tidak ada sakinah, mawaddah, dan rahmah,
seorang suami boleh cerai dari istri dengan cara baik seperti kata Alquran,
"Lanjutkan perkawinan dengan cara baik atau cerai dengan cara gentlemen."
Pendekatan dan meyakinkan istri
dengan cara memukul tidak akan melahirkan bahagia. Andaikan sang istri berubah
menjadi baik setelah dipukul oleh suami, tentu hanya secara zahir, karena
bagaimanapun juga aksi dan tindak pemukulan itu sangat melukai hatinya.
Sehingga pilar sakinah dan mawaddah akan cacat yang akhirnya juga kehidupan rumah
tangga akan hancur.
Demikian pula sang istri juga
tidak perlu memukul suami atau melakukan tindakan kekerasan lain. Istri bisa
dan boleh keluar dari lembaga perkawinan dengan mengambil inisiatif untuk cerai
dari suami dengan membayar ta'widh. Tidak satu
hadispun yang membolehkan memukul istri. Dalam Alquran juga tidak ditemukan
ayat yang membolehkan memukul istri. Adapun ayat 34 surat An Nisa yang selalu
dijadikan rujukan oleh sebagian orang, perlu di terjemahkan secara akurat
sesuai dengan norma dan prinsip tafsir. Menerjemahkan kata dharb dalam ayat tersebut dengan
memukul adalah hal yang perlu penjelasan lanjutan. Karena petunjuk Alquran
sangat jelas bahwa untuk memukul atau mencambuk selalu dipakai kata jild seperti hukuman bagi orang yang menuduh berzina
tanpa adanya empat saksi dicambuk 80 kali.
Dalam terjemahan Alquran dari
Depag kita temukan sebagai berikut, "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka (An Nisa ayat
34). Secara umum terjemahan Alquran Depag telah membantu umat Islam memahami
kitab sucinya, namun khusus ayat 34 surat An Nisa, Tampaknya Depag harus
meninjau ulang terjemahannya. Kenapa? Karena kata kerja dharb mencakup multimakna yang harus
disesuaikan dengan ayat dan dalil naqli yang terkait secara
utuh. Ada 18 bentuk pemakaian kata dharb dalam Alquran, kata tersebut bisa mempunyai arti mendidik,
mencangkul, memelihara,
bepergian,
mengasingkan/isolasi diri, memisahkan, dan meninggalkan.
Kita ambil contoh dalam surat An Nisa ayat 101, "Wa iza dhorobtum fil ardhi falaisa alaikum junahun an taqsuru
minas sholati (Dan apabila kamu bepergian (dharabtum) di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
meng-qashar shalatmu). Kata dhorobtum
tidak mungkin diterjemahkan memukul di bumi.
Dan bila melihat konteks turunnya ayat ini,
hukuman fisik yang dimaksud dari ayat tersebut hanya bersifat kontekstual dan
bukan ajaran normatif yang berlaku pada setiap jaman. Nabi Muhammad SAW sendiri setelah turunnya ayat tersebut banyak
mengeluarkan sabda yang melarang pemukulan terhadap perempuan. Demikian juga
dengan ayat-ayat al-quran, banyak menjelaskan betapa Allah menganjurkan sikap ma’aruf
dalam perkawinan, dan kekerasan terhadap istri justru bertentangan dengan
konsep mu’asyarah bi al-ma’ruf.
Karena adanya konsep khul'u (perceraian yang
inisiatifnya muncul dari sang istri) dalam lembaga perkawinan, maka
menerjemahkan dharb dengan memukul semakin kurang relevan dalam ayat 34 Surat An Nisa untuk
menyelesaikan cekcok rumah tangga. Masing-masing pihak punya hak untuk tetap
lanjut bersama atau pisah dari kehidupan rumah tangga.
3.  
Teladan Nabi
Hal ini diperkuat oleh sunnah fi'liyah (praktik Nabi) Rasulullah SAW ketika
rumah tangganya mengalami tantangan disharmonisasi dari beberapa istrinya. Nabi
tidak melakukan pemukulan pada istrinya, tapi dia meninggalkan istrinya
berhijrah rumah selama sebulan ke tempat lain. Padahal Surat An Nisa ayat 34
waktu itu sudah turun.
Dua tahapan sudah dilakukan oleh Nabi yaitu
menasihati dan pisah ranjang tapi tetap satu rumah. Tahapan terakhir untuk
menjaga kesinambungan dan keutuhan rumah tangga adalah i'tizal atau ib'ad atau hijrah pisah
rumah selama sebulan. Ternyata cara ini ampuh. Para istrinya
kembali biasa, rumah tangga Nabi kembali utuh.
Seandainya memukul adalah suatu opsi, tentu Rasulullah adalah
orang yang pertama harus melakukannya sebagai contoh dalam segala bentuk
perintah yang ada dalam Alquran. Namun Nabi tidak pernah melakukannya. Dalam
suatu hadis dikatakan bahwa beliau tidak pernah memukul pembantu dan istrinya.
Beliau tidak pernah menyuruh untuk memukul istri apalagi melakukan tindakan
penghinaan.
4.  
Kesimpulan
Ajaran Islam adalah kompatible dengan segala waktu dan
tempat. Artinya
ajaran Islam relevan dalam setiap kondisi zaman. Pemahaman terhadap ajaran
Islam harus dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh. Memahami Al Qur’an
jangan sa,pai setengah-setengah dan harus teliti serta jeli melihat teksnya.
Sehingga pemahaman yang tidak mengakomodasi maslahah manusia bisa dihindari.
Fikih
mawaddah melarang suami menghina atau memukul istri.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindakan kriminalitas. Islam sudah
memberikan saran dan solusi dalam menyelesaikan konflik dalam berumah tangga.
Apabila ada istri yang durhaka kepada suaminya, Islam menganjurkan bagi sang
suami untuk menasehatinya. Apabila dengan jalan menasehati terus-menerus tidak
membuahkan hasil dan istri masih tetap nusyuz, maka sang suami hendaknya
memboikotnya dari ranjang. Cara memboikot bisa dengan jalan idak berhubungan intim terutama pada saat istri
butuh, tidak mengajaknya berbicara, atau
pisah ranjang. Dan apabila ternyata cara inipun masih saja tidak memberikan
kontribusi untuk menghentikan istri dari berbuat nusyuz, maka boleh melakukan
cara yang terakhir yaitu memukul. Namun, memukul disini tidak boleh memukul
wajah, tidak sampai mencederai, tidak lebih dari 10 pukulan, dan yakin bahwa dengan memukul istri itu akan bermanfaat
untuk membuatnya tidak berbuat nusyuz lagi. Akan sangat bijak sekali apabila
cara yang ketiga tidak sampai dilakukan, agar konflik yang terjadi dalam rumah
tangga bisa diselesaikan tanpa adanya kekerasan.
Contoh keteladanan Nabi dalam menyelesaikan
konflik rumah tangga sangatlah patut untuk diteladani. Apa yang telah Nabi
contohkan merupakan fikih mawaddah yang harus
disosialisasikan oleh para intelektual Muslim dalam upaya membasmi
kesalahpahaman terhadap ajaran sejati Islam dan
mengeliminasi Islamophobia.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar