Analisis Burhani Terhadap Politisasi Agama
Tahun 2013 telah
usai. Tahun dimana negeri ini diwarnai dengan hiruk pikuk dan tingkah polah
politisi dan partai politik. Ingar bingar ini tidak lepas dengan tahun politik
dan akan diselenggarakannya ‘pesta demokrasi’. Memasuki tahun 2014, terhitung
empat bulan lagi, negara ini memiliki hajart besar yang bernama pemilihan umum
untuk anggota legislatif. Dari pemilu legislatif inilah yang nantinya  memunculkan calon presiden. Sekalipun
panggung politik nasional sudah mulai riuh dengan nama-nama bakal calon presiden
dan wakil presiden, namun partai politik harus tetap berhitung dengan perolehan
suara. 
Suka tidak suka,
globalisasi bukan hanya mempersempit dunia namun juga mempengaruhi kehidupan
politik di negeri ini. Geliat kampanye yang dilakukan oleh caleg sudah ditabuh
dari awal 2013. Berbagai media digunakan guna menunjang popularitas dan
mendongkrak eligibilitas partai yang diusungnya. Media yang menjadi sarana
mereka menjual janji pun beragam, dari baliho, banner, iklan di media
elektronik ataupun cetak, bahkan di jejaring sosial. Model blusukan ke kampung
atau pasar tradisional pun sekarang menjadi ngetrend. 
Perilaku sok
hadir untuk kebaikan orang lain ini, menurut Robert Michels, telah menjadi
hukum besi partai politik atau setidaknya menjadi
kecenderungan umum. Realitas partai politik menyebabkan banyak kalangan yang
bersikap skeptis. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi
segelintir orang untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik
tertentu at the expense of the general will (Rousseau, 1762). 
1.   Pencaplokan Simbol
Sifat oligarki partai politik ini
sebenarnya bisa dieliminasi. Selain dengan demokratisasi yang dimekanismekan dalam
konstitusi partai, perlu pelembagaan dan penegakan norma hukum, moral, dan
etika internal partai serta adanya keterbukaan sehingga publik bisa mengontrol
dan memiliki posisi tawar atas masa depan partai. Tentu dengan prasayarat
adanya komitmen intern partai dan civil society yang dewasa. 
Organisasi kemasyarakatan dan
keagamaan memang bukan lembaga suci. Tapi lembaga ini memikul misi suci
keagamaan, sosial, budaya, dan politik yang orientasinya jelas, yaitu
kemaslahatan umat. Pencaplokan sepihak dan tanpa malu-malu simbol atau sebagian
simbol organisasi keagamaan tertentu menggambarkan betapa politikus negeri ini
bertindak di bawah kendali superego. Kita tidak ingin agama atau umat beragama
hanya dimaknai secara kuantitas dalam logika pasar. Perilaku seperti ini adalah
bentuk ketakutan dalam persaingan meraih simpati rakyat.
Pesan KH Ahmad Dahlan, hidupi
Muhammadiyah, jangan hidup dari Muhammadiyah adalah sebuah kritik etis yang
seharusnya dimaknai oleh politikus kita bahwa organisasi keagamaan bukan untuk
dijual, apalagi dijadikan lahan subur untuk kepentingan sesaat. Politik memang
mengharuskan, "Cerdiklah seperti ular." Tapi moral membatasi,
"Dan tuluslah seperti merpati," kata Immanuel Kant. Politisasi agama
oleh para elite yang tidak memiliki roh untuk membangun bangsa hanyalah sebuah
bentuk kemunafikan. 
2.   Spiritualisme Semu 
Agama bukan hanya sistem simbol,
melainkan juga nilai, keyakinan, dan perilaku. Dalam riil politik, anjuran
kebajikan agama lebih sering menjadi area abu-abu. Kebuntuan rekonsiliasi
internal partai disikapi dengan membentuk partai baru. Satu sama lain kemudian
bersaing mengklaim legitimasi basis dan berjuang untuk kepentingan umat yang
sama. Sehingga kemaslahatan
umat yang menjadi tujuan terbentuaknya sebuah organisasi atau partai politik
telah ditunggangi oleh kemaslahatan diri sendiri. Sangat ironis apabila agama
hanya menjadi sarana untuk memperoleh kekuasaan dan memperkaya diri.
Pada beberapa kasus, korupsi ternyata
juga menimpa para politikus dari partai-partai berbasis agama. Di sisi lain,
pengungkapan dugaan suap atau korupsi oleh anggota dewan perwakilan rakyat
daerah sangat jelas memiliki tendensi materialistik untuk menghancurkan partai
lain, yang ujung-ujungnya adalah politik pencitraan untuk kepentingan suara,
bukan murni bagian dari kesadaran identitas, nurani, dan kemanusiaan. 
Spiritualisme macam ini sejatinya
adalah spiritualisme tanpa spiritualitas atau spiritualisme yang tak memiliki
sentuhan rohani. Ia hadir semata-mata karena persoalan strategi untuk mendulang suara dan popularitas. Partai politik tidak bisa hanya mengandalkan sentimen yang
sifatnya taken for granted ini saja. Harus ada kontribusi kerakyatan
yang jelas. Gagalnya beberapa kasus interpelasi di Dewan Perwakilan Rakyat RI,
karena "pengkhianatan" partai-partai berbasis massa agama memberikan
gambaran bahwa agama yang seharusnya diabdikan untuk rakyat hanyalah alat.
Parahnya, tak ada pertanggungjawaban yang jelas terhadap konstituen mereka atas
keputusan fraksi/partai.
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh
Lembaga Survei Indonesia tahun lalu, diketahui bahwa akuntabilitas dan
pertanggungjawaban partai politik (termasuk yang berbasis agama) terhadap
pemilihnya sangat rendah. Dengan demikian, pemilih tidak mengetahui kebijakan
partai politik dan alasan-alasannya terkait dengan isu penting, seperti impor
beras dan kenaikan harga bahan bakar minyak. Padahal agama begitu mempersoalkan
posisi tanggung jawab dalam konteks kepemimpinan dan perwakilan.
3.   Krisis Komitmen
Melihat perilaku elite dan partai
politik terhadap rakyat yang hampir sama, kita bertanya sejauh mana kontribusi
agama sebagai ideologi partai politik? Apa yang menjadi nilai tambah mereka?
Untuk partai politik baru yang ingin merebut lahan yang sama, hal baru apa yang
mereka tawarkan bagi perubahan bangsa ini jika kelahiran mereka hanyalah bentuk
reaksioner atas perkelahian kepentingan. 
Tafsir agama menghendaki bahwa
kekuasaan dan strukturnya diciptakan untuk melayani kepentingan umat atau
masyarakat (public service). Pergeseran kesadaran ini, dari kepentingan
umat ke kepentingan pribadi, menyebabkan tergusurnya nilai-nilai idealisme sejak proses awal
menuju kekuasaan. Jabatan hanya dimaknai sebagai investasi ekonomi, sehingga
hampir semua pemimpin negeri ini selalu menjadi penguasa ekonomi. 
Dalam keadaan demikian, kita
sesungguhnya merindukan kontribusi agama yang dibawa oleh sejumlah partai
politik. Tapi sayang, hampir tak ada bedanya. Agama tidak lebih sebagai alat
politik. Ketika kursi diraih, jangankan rakyat, Tuhan pun entah ada di mana.
Memilih dengan kesadaran obyektif dan rasional atas pertimbangan kualitas,
kredibilitas, serta komitmen akhirnya menjadi tugas berat rakyat di tengah
beragam partai politik yang hadir membawa segudang janji dan mimpi. 
Meski demikian, sejauh ini pengalaman
mengajarkan no democracy without political party. Bahkan partai politik
sangat menentukan bentuk demokrasi, sebagaimana dikatakan Schattscheider
(1942), "Political parties created democracy." Tapi bagaimana
jadinya jika partai politik yang diharapkan justru mengalami krisis identitas,
moralitas, dan komitmen? Demokrasi adalah proses. Kita semua turut
berkontribusi dan menentukan arah perjalanan bangsa ini.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar