Laman

Cari Blog Ini

Rabu, 08 Januari 2014

Analisis Burhani Terhadap Politisasi Agama


Analisis Burhani Terhadap Politisasi Agama
Tahun 2013 telah usai. Tahun dimana negeri ini diwarnai dengan hiruk pikuk dan tingkah polah politisi dan partai politik. Ingar bingar ini tidak lepas dengan tahun politik dan akan diselenggarakannya ‘pesta demokrasi’. Memasuki tahun 2014, terhitung empat bulan lagi, negara ini memiliki hajart besar yang bernama pemilihan umum untuk anggota legislatif. Dari pemilu legislatif inilah yang nantinya  memunculkan calon presiden. Sekalipun panggung politik nasional sudah mulai riuh dengan nama-nama bakal calon presiden dan wakil presiden, namun partai politik harus tetap berhitung dengan perolehan suara.
Suka tidak suka, globalisasi bukan hanya mempersempit dunia namun juga mempengaruhi kehidupan politik di negeri ini. Geliat kampanye yang dilakukan oleh caleg sudah ditabuh dari awal 2013. Berbagai media digunakan guna menunjang popularitas dan mendongkrak eligibilitas partai yang diusungnya. Media yang menjadi sarana mereka menjual janji pun beragam, dari baliho, banner, iklan di media elektronik ataupun cetak, bahkan di jejaring sosial. Model blusukan ke kampung atau pasar tradisional pun sekarang menjadi ngetrend.
Acara-acara yang menghadirkan ribuan massa menjadi hal yang paling diminati oleh para calon. Banyak juga para calon yang berlomba-lomba ikut turut serta dan hadir dalam acara-acara keagamaan. Politik dengan pengatasnamaan agama atau komunitas umat tertentu oleh individu, gerakan, atau partai politik adalah fenomena yang saat ini kita rasakan kembali menguat.
Perilaku sok hadir untuk kebaikan orang lain ini, menurut Robert Michels, telah menjadi hukum besi partai politik atau setidaknya menjadi kecenderungan umum. Realitas partai politik menyebabkan banyak kalangan yang bersikap skeptis. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu at the expense of the general will (Rousseau, 1762).
1.   Pencaplokan Simbol
Sifat oligarki partai politik ini sebenarnya bisa dieliminasi. Selain dengan demokratisasi yang dimekanismekan dalam konstitusi partai, perlu pelembagaan dan penegakan norma hukum, moral, dan etika internal partai serta adanya keterbukaan sehingga publik bisa mengontrol dan memiliki posisi tawar atas masa depan partai. Tentu dengan prasayarat adanya komitmen intern partai dan civil society yang dewasa.
Organisasi kemasyarakatan dan keagamaan memang bukan lembaga suci. Tapi lembaga ini memikul misi suci keagamaan, sosial, budaya, dan politik yang orientasinya jelas, yaitu kemaslahatan umat. Pencaplokan sepihak dan tanpa malu-malu simbol atau sebagian simbol organisasi keagamaan tertentu menggambarkan betapa politikus negeri ini bertindak di bawah kendali superego. Kita tidak ingin agama atau umat beragama hanya dimaknai secara kuantitas dalam logika pasar. Perilaku seperti ini adalah bentuk ketakutan dalam persaingan meraih simpati rakyat.
Pesan KH Ahmad Dahlan, hidupi Muhammadiyah, jangan hidup dari Muhammadiyah adalah sebuah kritik etis yang seharusnya dimaknai oleh politikus kita bahwa organisasi keagamaan bukan untuk dijual, apalagi dijadikan lahan subur untuk kepentingan sesaat. Politik memang mengharuskan, "Cerdiklah seperti ular." Tapi moral membatasi, "Dan tuluslah seperti merpati," kata Immanuel Kant. Politisasi agama oleh para elite yang tidak memiliki roh untuk membangun bangsa hanyalah sebuah bentuk kemunafikan.
2.   Spiritualisme Semu
Agama bukan hanya sistem simbol, melainkan juga nilai, keyakinan, dan perilaku. Dalam riil politik, anjuran kebajikan agama lebih sering menjadi area abu-abu. Kebuntuan rekonsiliasi internal partai disikapi dengan membentuk partai baru. Satu sama lain kemudian bersaing mengklaim legitimasi basis dan berjuang untuk kepentingan umat yang sama. Sehingga kemaslahatan umat yang menjadi tujuan terbentuaknya sebuah organisasi atau partai politik telah ditunggangi oleh kemaslahatan diri sendiri. Sangat ironis apabila agama hanya menjadi sarana untuk memperoleh kekuasaan dan memperkaya diri.
Pada beberapa kasus, korupsi ternyata juga menimpa para politikus dari partai-partai berbasis agama. Di sisi lain, pengungkapan dugaan suap atau korupsi oleh anggota dewan perwakilan rakyat daerah sangat jelas memiliki tendensi materialistik untuk menghancurkan partai lain, yang ujung-ujungnya adalah politik pencitraan untuk kepentingan suara, bukan murni bagian dari kesadaran identitas, nurani, dan kemanusiaan.
Spiritualisme macam ini sejatinya adalah spiritualisme tanpa spiritualitas atau spiritualisme yang tak memiliki sentuhan rohani. Ia hadir semata-mata karena persoalan strategi untuk mendulang suara dan popularitas. Partai politik tidak bisa hanya mengandalkan sentimen yang sifatnya taken for granted ini saja. Harus ada kontribusi kerakyatan yang jelas. Gagalnya beberapa kasus interpelasi di Dewan Perwakilan Rakyat RI, karena "pengkhianatan" partai-partai berbasis massa agama memberikan gambaran bahwa agama yang seharusnya diabdikan untuk rakyat hanyalah alat. Parahnya, tak ada pertanggungjawaban yang jelas terhadap konstituen mereka atas keputusan fraksi/partai.
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia tahun lalu, diketahui bahwa akuntabilitas dan pertanggungjawaban partai politik (termasuk yang berbasis agama) terhadap pemilihnya sangat rendah. Dengan demikian, pemilih tidak mengetahui kebijakan partai politik dan alasan-alasannya terkait dengan isu penting, seperti impor beras dan kenaikan harga bahan bakar minyak. Padahal agama begitu mempersoalkan posisi tanggung jawab dalam konteks kepemimpinan dan perwakilan.
3.   Krisis Komitmen
Melihat perilaku elite dan partai politik terhadap rakyat yang hampir sama, kita bertanya sejauh mana kontribusi agama sebagai ideologi partai politik? Apa yang menjadi nilai tambah mereka? Untuk partai politik baru yang ingin merebut lahan yang sama, hal baru apa yang mereka tawarkan bagi perubahan bangsa ini jika kelahiran mereka hanyalah bentuk reaksioner atas perkelahian kepentingan.
Tafsir agama menghendaki bahwa kekuasaan dan strukturnya diciptakan untuk melayani kepentingan umat atau masyarakat (public service). Pergeseran kesadaran ini, dari kepentingan umat ke kepentingan pribadi, menyebabkan tergusurnya nilai-nilai idealisme sejak proses awal menuju kekuasaan. Jabatan hanya dimaknai sebagai investasi ekonomi, sehingga hampir semua pemimpin negeri ini selalu menjadi penguasa ekonomi.
Dalam keadaan demikian, kita sesungguhnya merindukan kontribusi agama yang dibawa oleh sejumlah partai politik. Tapi sayang, hampir tak ada bedanya. Agama tidak lebih sebagai alat politik. Ketika kursi diraih, jangankan rakyat, Tuhan pun entah ada di mana. Memilih dengan kesadaran obyektif dan rasional atas pertimbangan kualitas, kredibilitas, serta komitmen akhirnya menjadi tugas berat rakyat di tengah beragam partai politik yang hadir membawa segudang janji dan mimpi.
Meski demikian, sejauh ini pengalaman mengajarkan no democracy without political party. Bahkan partai politik sangat menentukan bentuk demokrasi, sebagaimana dikatakan Schattscheider (1942), "Political parties created democracy." Tapi bagaimana jadinya jika partai politik yang diharapkan justru mengalami krisis identitas, moralitas, dan komitmen? Demokrasi adalah proses. Kita semua turut berkontribusi dan menentukan arah perjalanan bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar