Laman

Cari Blog Ini

Rabu, 08 Januari 2014

Pendekatan Sufistik untuk Alam



Pendekatan Sufistik untuk Alam
Memasuki bulan Desember, seperti adat, curah hujan di wilayah Indonesia semakin tinggi. Akibatnya, hampir semua media baik cetak maupun elektronik memberitakan berbagai fenomena alam yang menggila di berbagai tempat. Banjir, tanah longsor, angin puting beliung menjadi headline yang panas untuk diberitakan. Fenomena alam semacam ini telah banyak memakan korban, baik material ataupun nyawa. Menurut laporan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) pada bulan september, dari Januari hingga September tercatat 886 kejadian bencana alam yang merenggut 639 korban jiwa dan lebih dari 2.900.000 orang menderita penyakit akibat bencana dan mengungsi. (www.bnpb.go.id)
Tidak diragukan lagi bahwa pandangan sekuler tentang alam telah menghasilkan kemajuan-kemajuan ilmiah dan teknologi serta membuat kemajuan-kemajuan yang cukup berarti bagi kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia. Namun, di sisi lain pandangan sekuler modern juga telah menciptakan berbagai masalah dalam hubungan manusia dengan alam, dan gangguan-gangguan atas tatanan alam. Bahkan saat ini masalah tersebut sudah bisa dikatakan mengarah pada apa yang kita kenal sebagai krisis ekologis. Manusia modern menjadi semakin teralienasi dari alam, setelah mereka menciptakan jurang yang tak terjembatani antara keduanya, yakni manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek.
Dengan memandang alam semata-mata sebagai objek, nafsu manusia modern melalui sains dan teknologi, telah mendominasi dan mengeksploitasi alam secara kasar untuk memenuhi tuntutan nafsu mereka yang terus menerus meningkat dan tidak pernah ada puasnya. Akibatnya, keberadaan alam saat ini dalam proses kehilangan kemampuannya untuk memberikan sumber dayanya yang dermawan dan kaya untuk mempertahankan keseimbangan ekologisnya.
Bencana-bencana alam seperti banjir bandang, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan yang telah memusnahkan jutaan tumbuhan dan hewan-hewan yang tak ternilai harganya, serta erosi, dan polusi udara dan air, hanyalah beberapa contoh kecil. Selain itu masih sangat banyak kerusakan alam yang telah diakibatkan oleh keserakahan nafsu manusia. Secara simbolis, semua itu menunjukkan betapa alam telah marah kepada manusia atas perlakuan yang tidak bermoral atasnya.
Tentunya, situasi seperti itu tidak boleh dibiarkan begitu saja hingga berakibat pada munculnya problem-problem baru yang lebih serius lagi. Oleh karena itulah, manusia modern memerlukan cara pandang lain dalam memandang alam untuk memperbaiki hubungannya dengan alam. Barangkali, pandangan dan konsepsi kaum sufi terhadap alam bisa membantu dalam menghadirkan cara pandang baru tersebut.
1.   Alam sebagai berkah
Menurut kaum sufi, manusia telah menjadi bagian dari alam. Manusia menempati posisi yang sangat istimewa dalam keseluruhan tatanan alam semesta dan kosmik. Manusia dipandang sebagai tujuan akhir penciptaan dan juga sekaligus sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi. Karena alasan tersebut, maka manusia telah diberikan hak untuk mengelola alam.
Tapi, hak tersebut hanya sejauh atau berkat bentuk teomorfiknya (theomorphic make-up), dan bukan sebagai hak untuk memberontak melawan langit, sebagaimana pemberontakan yang dilakukan oleh manusia modern terhadap Tuhan. Di samping itu, menurut kaum sufi, manusia juga memiliki hubungan yang dekat dengan alam. Manusia adalah saluran berkah Tuhan (barakat) bagi alam, yakni melalui partisipasinya yang aktif dalam dimensi spritual alam. Manusia adalah mulut di mana jasad alam bernafas dan hidup.
Karena kedekatan manusia dengan alam itulah, maka apa pun yang terjadi dengan batin manusia, akan mempengaruhi tatanan lahiriah alam. Kedekatan hubungan itu dapat menjelaskan mengapa ketika keadaan batin manusia berubah menjadi gelap dan rancu, alam juga berubah dari harmoni dan keindahan menjadi ketidakseimbangan dan kekacauan.
Bagi para sufi, alam tidak akan pernah menjadi semata objek-objek yang mati untuk mengabdi pada manusia. Alam adalah sebuah wujud hidup yang mampu mencinta dan dicinta. Kita juga bisa menyaksikan bahwa antara alam dan manusia dapat muncul rasa cinta dan pemahaman timbal balik.
2.   Alam Sebagai Ayat
Islam tidak pernah melihat alam sebagai sebuah realitas independen yang tidak punya hubungan apa pun dengan realitas-realitas lain yang lebih tinggi. Sebaliknya, Islam memandang alam sebagai ayat atau tanda-tanda kekuasaan Tuhan sebagai Sang Realitas Sejati. Jika manusia modern cenderung melihat alam hanya dari aspek fisiologis dan kuantitatifnya serta memandang bahwa alam harus dikontrol dan dikuasai demi semata-mata kepentingan manusia, maka para sufi melihatnya sebagai simbol. Dari simbol-simbol alam itu dapat ditangkap isyarat mengenai realitas-realitas yang lebih tinggi.
Menurut para sufi, alam adalah cermin universal yang memantulkan apa pun yang ada di dunia-dunia atas. Keberadaan alam menjadi sebuah panorama simbol yang luas, yang berbicara kepada manusia dan memiliki makna baginya. Dalam konteks inilah, seorang sufi menyebut alam sebagai bayangan, yakni bayangan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Abu Bakr Sirajuddin menyatakan bahwa tidak ada satu pun di alam yang lebih dari sekadar bayangan. Bahkan jika ada sebuah dunia yang tidak memberi bayangan dari atas, dunia di bawahnya akan musnah atau sirna seketika, karena tiap dunia dalam ciptaan ini tidak lebih dari sebuah jaringan bayang-bayang alias the tissue of the shadows. Seluruh tampilan dalam berbai bayangan itu, secara keseluruhan tergantung pada arketip-arketip dunia di atasnya.
3.   Klasifikasi Bencana
Bencana alam merupakan manifestasi dari ketidakseimbangan pada lingkungan, yang sesungguhnya telah diciptakan oleh Allah SWT dalam suatu sistem yang sangat serasi sesuai dengan kehidupan manusia. Ketidakseimbangan tersebut telah mengakibatkan sesuatu yang memenuhi nilai-nilainya, berfungsi dengan baik, dan bermanfaat, menjadi kehilangan sebagian atau seluruh nilainya sehingga berkurang fungsi dan manfaatnya. Dampak semua itu menjadikan munculnya kekacauan.
Bencana dapat dilakuka melalui beberapa term yang mengacu pada makna bencana seperti kehancuran, kematian, kebinasaan, kerusakan dan lain sebagainya. Term-term tersebut adalah musibah, bala’, fitnah, azab, fasad, ‘iqab, tadmir dan halak. Delapan term ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:
2)  Kerusakan Kolektif
Term-term yang menunjukan pada kerusakan kolektif adalah fasad, tadmir dan halak.
1)  Fasad berarti kerusakan. Adapun kerusakan itu ada dua macam yaitu kerusakan secara fisik, yakni kerusakan lingkungan atau bumi, dan ada juga kerusakan secara psikis, moral atau bahkan spiritual.
2)  Kata tadmir adakalanya berarti kehancuran dan bisa juga berarti kebinasaan. Datangnya suatu kehancuran dan kebinasaan terhadap suatu kaum tidak terlepas dari kedurhakaan yang telah mereka lakukan.
3)  Halak biasanya digunakan untuk menunjuk pada kebinasaan, yang sebagian besar menunjukan suatu kejadian tentang kehancuran yang sangat besar.
3)  Kerusakan Secara Makna
Term-term yang digunakan untuk menunjuk arti ini adalah bala’, fitnah, azab dan ‘iqab.
1)  Bala’ pada dasarnya berarti nyata atau nampak. Namun kemudian makna ini berkembang menjadi ujian yang dapat menampakkan kualitas keimanan seseorang. Ujian dan cobaan itu ada dua macam, bisa berupa sesuatu yang tidak menyenangkan dan bisa juga berupa nikmat.
2)  Fitnah dalam Al Qur’an banyak digunakan untuk menunjuk pada pengertian cobaan, kekacauan dan bencana.
3)  Azab menunjuk pada arti siksa. Siksaan atau hukuman itu ada tiga macam, yaitu sanksi atau hukuman yang ditangguhkan di akhirat nanti, sanksi yang dicukupkan di dunia ini dan sanksi yang sebagian diberikan di dunia sebagai muqaddimah dan sebagian diberikan di akhirat kelak.
4)  ‘Iqab digunakan untuk menunjuk arti kesudaha yang tidak menyenangkan atau sanksi atas pelanggaran.
4)  Bahaya Yang Menimpa
Bahaya yang menimpa atau keburukan biasa ditunjukan oleh term musibah. Kata musiabah adakalanya didefinisikan sebagai kehancuran, kegagalan dan juga kekalahan. Adapun penyebab datangnya musiabah adalah dari perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia itu sendiri, yakni dosa dan kemaksiatan.
3.   Tangga spiritual
Menurut para sufi, manusia tidak cukup berhenti pada ajaran teoritis tapi juga harus bergerak pada peristiwa sejati jiwa. Ini berarti bahwa seseorang harus menyeberangi seluruh teluk atau jurang yang memisahkan kepastian ilmu-ilmu teoritis dan kepastian dari pengetahuan gnostik yang terhayati dan terealisasi secara personal.
Dari lubuk alam yang dalam, manusia harus berusaha mengatasi alam, dan alam sendiri yang berfungsi sebagai tangga. Keberadaan alam dapat bertindak sebagai penopang dalam proses ini. Dari dorongan untuk mentransenden alam dan juga untuk menyeberangi jurang antara pengetahuan teoretis dan pengetahuan diri yang terealisasi (self realized knowledge), ide tentang spiritual voyage atau pengembaraan spiritual, muncul ke permukaan dalam begitu banyak karya mistik dan filosfis.
Dalam keseluruhan karya para sufi maupun filosof sangat terbaca pemikiran yang mengungkapkan secara simbolis dan indah mengenai pelajaran mereka sendiri ke dunia-dunia spiritual. Semua ini bukan berarti hanya sekadar cerita-cerita fiktif, tapi merupakan refleksi-refleksi dari perjalanan spiritual mereka kepada realitas sejati, Al Haqq. Seperti dalam karya fiktif-naratif Ibn Sina (wafat 1037), yaitu Risalah Al Thayr.
Akhirnya, bagi para sufi, tempat di mana kita hidup sekarang, hanyalah satu dari dunia lainnya. Ia bertindak sebagai tangga, yang hanya melalui tangga itulah, manusia bisa melakukan pendakian spiritual, mi'raj untuk bisa menuju puncak wujud, yaitu Tuhan, Sang Pencipta alam semesta. Dialah Yang Awal, tempat manusia berasal, dan Dialah Yang Akhir, tempat manusia kembali. Alqur'an telah menyakatan bahwa, sesungguhnya kita adalah milik Tuhan dan kepada-Nyalah kita akan kembali.
1.   Kesimpulan
Kemajuan teknologi dan alam berpikir manusia terhadap alam memang telah banyak menelurkan kemajuan peradaban manusia. Akan tetapi, kemajuan tersebut dibarengi dengan kerusakan alam yang sangat parah. Pola berpikir sekuler terhadapa alam memposisikan manusia sebagai “pengguna” alam yang tidak bersimpati terhadap obyek yang digunakannya. Sehingga tak pelak, alam juga mempunyai perasaan yang kadang kala “marah” terhadap perilaku manusia dalam memanfaatkannya. Manusia yang menjadi khalifah di bumi ini haruslah bijak dalam memelihara, memanfaatkan dan menggunakan alam sekitar tidak berperilaku dhalim dan lalim.
Bencana yang terjadi haruslah juga dipandang dari sisi subyektifitas manusia sebagai pemanfaatnya. Manusia haruslah mawas diri di setiap menghadapi bencana karena bencana akan selalu mengintai. Allah akan merubah nikmat suatu bangsa tergantung bangsa tersebut merubahnya atau tidak. Tatanan alam yang mengikuti sunnatullah harus dijaga dan dipelihara tidak sekedar menggunakan lalu mencampakan. Habis manis sepah dibuang. Haruslah diingat bahwa manusia adalah bagian dari alam. Karena itu, antara manusia dan alam memiliki hubungan saling memerlukan. Di sinilah tuntutan manusia untuk menjaga alam sangat diperlukan.
Alam juga menjadi simbol dari realitas yang lebih luas, dan sekaligus bisa menjadi tangga spiritual bagi manusia untuk mendekati Sang Pencipta. Memelihara alam harus dibarengi dengan niat mencari ridha-Nya. Oleh karenanya, dalam setiap bencana alam yang terjadi haruslah kita sikapi dengan dewasa. Bencana bisa berarti musibah atau azab karen perilaku kita sendiri terhadap alam. Kita hanya menggunakannya namun tidak memeliharanya. Bencana juga bisa berarti bala’ atau cobaan untuk kita. Allah menguji kesabaran dan ketaqwaan kita melalui cobaan. Apabila kita bisa menghadapinya dengan ikhlas dan tawakkal, Allah menjanjikan derajat yang tinggi di sisi-Nya. Namun, sebaliknya apabila justru kita semakin jauh atau bahkan berpaling dari Allah, derajatnya akan dipandang rendah dan hina di sisi-Nya. Wallahua'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar