Pendekatan Sufistik untuk Alam 
Memasuki
bulan Desember, seperti adat, curah hujan di wilayah Indonesia semakin tinggi.
Akibatnya, hampir semua media baik cetak maupun elektronik memberitakan
berbagai fenomena alam yang menggila di berbagai tempat. Banjir, tanah longsor,
angin puting beliung menjadi headline yang panas untuk diberitakan. Fenomena
alam semacam ini telah banyak memakan korban, baik material ataupun nyawa.
Menurut laporan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) pada bulan
september, dari Januari hingga September tercatat 886 kejadian bencana alam
yang merenggut 639 korban jiwa dan lebih dari 2.900.000 orang menderita
penyakit akibat bencana dan mengungsi. (www.bnpb.go.id)
Dengan memandang alam semata-mata sebagai objek, nafsu
manusia modern melalui sains dan teknologi, telah mendominasi dan
mengeksploitasi alam secara kasar untuk memenuhi tuntutan nafsu mereka yang
terus menerus meningkat dan tidak pernah ada puasnya. Akibatnya, keberadaan
alam saat ini dalam proses kehilangan kemampuannya untuk memberikan sumber
dayanya yang dermawan dan kaya untuk mempertahankan keseimbangan ekologisnya.
Bencana-bencana alam seperti banjir bandang, longsor,
kekeringan, dan kebakaran hutan yang telah memusnahkan jutaan tumbuhan dan
hewan-hewan yang tak ternilai harganya, serta erosi, dan polusi udara dan air,
hanyalah beberapa contoh kecil. Selain itu masih sangat banyak kerusakan alam
yang telah diakibatkan oleh keserakahan nafsu manusia. Secara simbolis, semua
itu menunjukkan betapa alam telah marah kepada manusia atas perlakuan yang
tidak bermoral atasnya.
Tentunya, situasi seperti itu tidak boleh dibiarkan
begitu saja hingga berakibat pada munculnya problem-problem baru yang lebih
serius lagi. Oleh karena itulah, manusia modern memerlukan cara pandang lain
dalam memandang alam untuk memperbaiki hubungannya dengan alam. Barangkali,
pandangan dan konsepsi kaum sufi terhadap alam bisa membantu dalam menghadirkan
cara pandang baru tersebut.
1.   Alam sebagai berkah
Menurut kaum sufi, manusia telah menjadi bagian dari
alam. Manusia menempati posisi yang sangat istimewa dalam keseluruhan tatanan
alam semesta dan kosmik. Manusia dipandang sebagai tujuan akhir penciptaan dan
juga sekaligus sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi. Karena alasan
tersebut, maka manusia telah diberikan hak untuk mengelola alam. 
Tapi, hak tersebut hanya sejauh atau berkat bentuk
teomorfiknya (theomorphic make-up), dan bukan
sebagai hak untuk memberontak melawan langit, sebagaimana pemberontakan yang
dilakukan oleh manusia modern terhadap Tuhan. Di samping itu, menurut kaum
sufi, manusia juga memiliki hubungan yang dekat dengan alam. Manusia adalah
saluran berkah Tuhan (barakat) bagi alam, yakni melalui partisipasinya yang aktif
dalam dimensi spritual alam. Manusia adalah mulut di mana jasad alam bernafas
dan hidup.
Karena kedekatan manusia dengan alam itulah, maka apa
pun yang terjadi dengan batin manusia, akan mempengaruhi tatanan lahiriah alam.
Kedekatan hubungan itu dapat menjelaskan mengapa ketika keadaan batin manusia
berubah menjadi gelap dan rancu, alam juga berubah dari harmoni dan keindahan
menjadi ketidakseimbangan dan kekacauan.
Bagi para sufi, alam tidak akan pernah menjadi semata
objek-objek yang mati untuk mengabdi pada manusia. Alam adalah sebuah wujud
hidup yang mampu mencinta dan dicinta. Kita juga bisa menyaksikan bahwa antara
alam dan manusia dapat muncul rasa cinta dan pemahaman timbal balik.
2.  
Alam Sebagai Ayat
Islam tidak pernah melihat alam sebagai sebuah realitas
independen yang tidak punya hubungan apa pun dengan realitas-realitas lain yang
lebih tinggi. Sebaliknya, Islam memandang alam sebagai ayat atau tanda-tanda
kekuasaan Tuhan sebagai Sang Realitas Sejati. Jika manusia modern cenderung melihat alam hanya dari
aspek fisiologis dan kuantitatifnya serta memandang bahwa alam harus dikontrol
dan dikuasai demi semata-mata kepentingan manusia, maka para sufi melihatnya
sebagai simbol. Dari simbol-simbol alam itu dapat ditangkap isyarat mengenai
realitas-realitas yang lebih tinggi. 
Menurut para sufi, alam adalah cermin universal yang
memantulkan apa pun yang ada di dunia-dunia atas. Keberadaan alam menjadi sebuah panorama simbol yang luas, yang berbicara
kepada manusia dan memiliki makna baginya. Dalam konteks inilah, seorang sufi
menyebut alam sebagai bayangan, yakni bayangan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Abu Bakr Sirajuddin menyatakan bahwa tidak ada satu
pun di alam yang lebih dari sekadar bayangan. Bahkan jika ada sebuah dunia yang
tidak memberi bayangan dari atas, dunia di bawahnya akan musnah atau sirna
seketika, karena tiap dunia dalam ciptaan ini tidak lebih dari sebuah jaringan
bayang-bayang alias the tissue of the shadows. Seluruh
tampilan dalam berbai bayangan itu, secara keseluruhan tergantung pada arketip-arketip
dunia di atasnya.
3.  
Klasifikasi Bencana
Bencana alam merupakan
manifestasi dari ketidakseimbangan pada lingkungan, yang sesungguhnya telah
diciptakan oleh Allah SWT dalam suatu sistem yang sangat serasi sesuai dengan
kehidupan manusia. Ketidakseimbangan tersebut telah mengakibatkan sesuatu yang
memenuhi nilai-nilainya, berfungsi dengan baik, dan bermanfaat, menjadi
kehilangan sebagian atau seluruh nilainya sehingga berkurang fungsi dan
manfaatnya. Dampak semua itu menjadikan munculnya kekacauan.
Bencana dapat dilakuka melalui
beberapa term yang mengacu pada makna bencana seperti kehancuran, kematian,
kebinasaan, kerusakan dan lain sebagainya. Term-term tersebut adalah musibah,
bala’, fitnah, azab, fasad, ‘iqab, tadmir dan halak. Delapan term ini dapat
diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:
2)  Kerusakan
Kolektif
Term-term yang menunjukan pada
kerusakan kolektif adalah fasad, tadmir dan halak.
1)  Fasad berarti
kerusakan. Adapun kerusakan itu ada dua macam yaitu kerusakan secara fisik,
yakni kerusakan lingkungan atau bumi, dan ada juga kerusakan secara psikis,
moral atau bahkan spiritual.
2)  Kata tadmir
adakalanya berarti kehancuran dan bisa juga berarti kebinasaan. Datangnya suatu
kehancuran dan kebinasaan terhadap suatu kaum tidak terlepas dari kedurhakaan
yang telah mereka lakukan.
3)  Halak
biasanya digunakan untuk menunjuk pada kebinasaan, yang sebagian besar
menunjukan suatu kejadian tentang kehancuran yang sangat besar.
3)  Kerusakan
Secara Makna
Term-term yang digunakan untuk
menunjuk arti ini adalah bala’, fitnah, azab dan ‘iqab.
1)  Bala’ pada
dasarnya berarti nyata atau nampak. Namun kemudian makna ini berkembang menjadi
ujian yang dapat menampakkan kualitas keimanan seseorang. Ujian dan cobaan itu
ada dua macam, bisa berupa sesuatu yang tidak menyenangkan dan bisa juga berupa
nikmat.
2)  Fitnah dalam
Al Qur’an banyak digunakan untuk menunjuk pada pengertian cobaan, kekacauan dan
bencana.
3)  Azab menunjuk
pada arti siksa. Siksaan atau hukuman itu ada tiga macam, yaitu sanksi atau
hukuman yang ditangguhkan di akhirat nanti, sanksi yang dicukupkan di dunia ini
dan sanksi yang sebagian diberikan di dunia sebagai muqaddimah dan sebagian
diberikan di akhirat kelak.
4)  ‘Iqab
digunakan untuk menunjuk arti kesudaha yang tidak menyenangkan atau sanksi atas
pelanggaran.
4)  Bahaya Yang
Menimpa
Bahaya yang menimpa atau
keburukan biasa ditunjukan oleh term musibah. Kata musiabah adakalanya
didefinisikan sebagai kehancuran, kegagalan dan juga kekalahan. Adapun penyebab
datangnya musiabah adalah dari perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia itu
sendiri, yakni dosa dan kemaksiatan.
3.  
Tangga spiritual
Menurut para sufi, manusia tidak cukup berhenti pada
ajaran teoritis tapi juga harus bergerak pada peristiwa sejati jiwa. Ini
berarti bahwa seseorang harus menyeberangi seluruh teluk atau jurang yang
memisahkan kepastian ilmu-ilmu teoritis dan kepastian dari pengetahuan gnostik
yang terhayati dan terealisasi secara personal. 
Dari lubuk alam yang dalam, manusia harus berusaha
mengatasi alam, dan alam sendiri yang berfungsi sebagai tangga. Keberadaan alam
dapat bertindak sebagai penopang dalam proses ini. Dari dorongan untuk
mentransenden alam dan juga untuk menyeberangi jurang antara pengetahuan
teoretis dan pengetahuan diri yang terealisasi (self realized
knowledge), ide tentang spiritual voyage
atau pengembaraan spiritual, muncul ke permukaan dalam begitu banyak karya
mistik dan filosfis.
Dalam keseluruhan karya para sufi maupun filosof
sangat terbaca pemikiran yang mengungkapkan secara simbolis dan indah mengenai
pelajaran mereka sendiri ke dunia-dunia spiritual. Semua ini bukan berarti
hanya sekadar cerita-cerita fiktif, tapi merupakan refleksi-refleksi dari
perjalanan spiritual mereka kepada realitas sejati, Al Haqq. Seperti dalam
karya fiktif-naratif Ibn Sina (wafat 1037), yaitu Risalah Al Thayr.
Akhirnya, bagi para sufi, tempat di mana kita hidup
sekarang, hanyalah satu dari dunia lainnya. Ia bertindak sebagai tangga, yang hanya melalui tangga itulah, manusia bisa melakukan pendakian spiritual, mi'raj untuk bisa menuju puncak wujud, yaitu Tuhan,
Sang Pencipta alam semesta. Dialah Yang Awal, tempat manusia berasal, dan
Dialah Yang Akhir, tempat manusia kembali. Alqur'an telah menyakatan bahwa,
sesungguhnya kita adalah milik Tuhan dan kepada-Nyalah kita akan kembali. 
1.   Kesimpulan
Kemajuan
teknologi dan alam berpikir manusia terhadap alam memang telah banyak
menelurkan kemajuan peradaban manusia. Akan tetapi, kemajuan tersebut dibarengi
dengan kerusakan alam yang sangat parah. Pola berpikir sekuler terhadapa alam
memposisikan manusia sebagai “pengguna” alam yang tidak bersimpati terhadap
obyek yang digunakannya. Sehingga tak pelak, alam juga mempunyai perasaan yang
kadang kala “marah” terhadap perilaku manusia dalam memanfaatkannya. Manusia
yang menjadi khalifah di bumi ini haruslah bijak dalam memelihara, memanfaatkan
dan menggunakan alam sekitar tidak berperilaku dhalim dan lalim.
Bencana
yang terjadi haruslah juga dipandang dari sisi subyektifitas manusia sebagai
pemanfaatnya. Manusia haruslah mawas diri di setiap menghadapi bencana karena
bencana akan selalu mengintai. Allah akan merubah nikmat suatu bangsa
tergantung bangsa tersebut merubahnya atau tidak. Tatanan alam yang mengikuti
sunnatullah harus dijaga dan dipelihara tidak sekedar menggunakan lalu mencampakan.
Habis manis sepah dibuang. Haruslah diingat bahwa manusia adalah bagian dari alam. Karena itu, antara
manusia dan alam memiliki hubungan saling memerlukan. Di sinilah tuntutan
manusia untuk menjaga alam sangat diperlukan.
Alam juga menjadi simbol
dari realitas yang lebih luas, dan sekaligus bisa menjadi tangga spiritual bagi
manusia untuk mendekati Sang Pencipta.
Memelihara alam harus dibarengi dengan niat mencari ridha-Nya. Oleh karenanya,
dalam setiap bencana alam yang terjadi haruslah kita sikapi dengan dewasa.
Bencana bisa berarti musibah atau azab karen perilaku kita sendiri terhadap
alam. Kita hanya menggunakannya namun tidak memeliharanya. Bencana juga bisa
berarti bala’ atau cobaan untuk kita. Allah menguji kesabaran dan ketaqwaan
kita melalui cobaan. Apabila kita bisa menghadapinya dengan ikhlas dan
tawakkal, Allah menjanjikan derajat yang tinggi di sisi-Nya. Namun, sebaliknya
apabila justru kita semakin jauh atau bahkan berpaling dari Allah, derajatnya
akan dipandang rendah dan hina di sisi-Nya. Wallahua'lam.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar